Kamis, 26 Juli 2012

Lalampah Ka Badui




07.05 Stasiun Jakarta Kota ;

Hanya ada dua deret kursi di dalam Gerbong Kereta ini, saling berhadapan dengan jarak kedua kursi cukup jauh. Sehingga menyediakan seruas jalan yang lumayan lebar bagi mereka yang tidak kebagian tempat duduk dan bagi mereka yang sedang mencari uang.

Empat jam gerbong usang ini akan melaju dan melintasi beberapa stasiun kecil yang nampak tak terawat. Maklum, ini adalah kereta ekonomi non AC tujuan Rangkas Bitung, Banten. Gerbong ini lebih terlihat seperti gerbong barang dibanding gerbong penumpang. Sama sekali jauh dari kesan nyaman dan aman, namun disinilah kami melihat sisi lain sebuah dinamika kehidupan.




Selalu saja ada yang baru di setiap kereta ini berhenti kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Seorang pengamen dengan mata memerah nampak memaksa penumpang untuk memberikan uang, jalannya sempoyongan seirama dengan goyangan gerbong.

Lain cerita dengan puluhan pedagang yang selalu ada di tiap menit, lalu-lalang menjajakan dagangannya, berbagai cara mereka lakukan, yang penting terjual dapat uang untuk membiayai hidup.

Seorang anak yang mengalami keterbelakangan mental terus saja mondar-mandir dari gerbok satu ke gerbok lain, membersihkan sampah yang terus ada di rangkain gerbong ini. Bukan dengan sapu, melainkan dengan sendal yang sudah bekas.

Kemudian seorang penumpang memaksa saya untuk sedikit mengeluarkan kepala. Mengembangkan hidung, menghirup udara luar dalam-dalam, membiarkan angin semena-mena menghajar muka. Penumpang tadi membuat udara di dalam gerbong semakin tidak bersahabat saja. Aroma sampah yang keluar dari dalam perutnya sungguh menusuk hidung. Membuat kepala semakin pusing dibuatnya.



11.30 Rangkas Bitung, Banten ;

Aw, Awe atau Aweh. Entalah, yang pasti nama terminal ini berkutat diantara huruf-huruf tadi. Dan yang terpenting tukang ojek ini tahu maksud tujuan kami.

Terminal Aw, Awe atau Aweh - Rangkas Bitung

Di Rangkas, terminal ini memang kondang, kata mereka di musim libur banyak orang berdatangan ketempat ini, karena dari terminal inilah kendaraan menyerupai angkot akan membawa siapa saja yang ingin berkunjung ke desa Ciboleger, pintu gerbang memasuki Badui Luar dan Badui Dalam.

Desa Ciboleger merupakan batas akhir kendaraan bermotor, dari desa ini kami akan berjalan kaki sejauh 15 Kilometer menuju Desa Cibeo, satu dari tiga desa dimana suku Badui Dalam bermukim.

Perjalanan mengunjungi Badui Dalam tidaklah mudah, apalagi kami tidak sempat istirahat setibanya di Jakarta, alhasil tenaga benar-benar terkuras. Menembus belantara hutan, terus memaksa kaki untuk mendaki dan menuruni jalan setapak, keringat pun begitu deras membanjiri tubuh, air minum yang kami bawa tak memberi arti banyak, saat itu kami benar-benar di puncak lelah !

Saya kira itu adalah Desa Cibeo, ah ternyata bukan, kami baru akan memasuki desa Kaduketer, salah satu desa dimana suku Badui Luar tinggal. Kata mereka masyarakat Badui Luar berbeda dengan Badui Dalam. Rumah suku Badui Luar memiliki lebih dari satu pintu, kalau Badui Dalam hanya satu pintu saja. Di suku Badui Luar tanah yang digunakan sebagai rumah boleh di ratakan, tapi suku Badui Dalam tidak boleh sama sekali. Masyarakat suku Badui Luar menggunakan pakaian bermotif, sedangkan Badui dalam hanya hitam dan putih saja. Emm . . . semakin penasaran saja melihat langsung masyarakat dan kehidupan suku Badui Dalam.


Desa Kaduketer - Badui Luar


Setelah dirasa cukup beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan. Semakin lama, semakin masuk ke dalam hutan, selepas dari Badui Luar jalan setapak yang kami lalui mulai berbeda, pepohonan semakin lebat, alunan suara berbagai macam binatang terdengar begitu jelasanya, jalan yang kami lalui pun mulai menyempit dengan kemiringan bisa mencapai 70 derajat, di saat saat seperti ini hanya tekad dan semangat-lah yang bisa diandalkan. Senantiasa mensugesti diri, bahwa kami pasti bisa melalui perjalanan ini dan sampai ke desa Cibeo.

Batang bambu itu terus saja mengalirkan air, tepat satu meter di bawahnya terdapat semacam penamapungan yang terbuat dari kayu, disitulah air akan tertampung dan terus meluap. Meluap-luap seperti persaan kami saat itu, sungguh senang dan bangga bisa tiba di desa Cibeo. Di desa inilah kami akan bermalam, mengakrabkan diri dengan keheningan, menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dunia luar, dan menghagatkan diri dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat suku Badui Dalam.




''Lojor teu meunang di potong, Pondok teu meunang disambung, Kurang teu meunang ditambah, Leuwih teu meunang di kurang.'' - Badui Dalam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar