Minggu, 01 September 2013

Hi Tidung !





"Tutup !" Tapi bau amis sudah terlanjur masuk kedalam mobil. Setelah memberikan empat lembar seribu rupiah sebagai tiket masuk pelabuhan lama Muara Angke, kami pun segera menutup jendela. Ini adalah pelabuhan bagi nelayan, dimana pelelangan ikan dan pasar rakyat berada dalam satu kawasan, jalanan yang basah karena daerah ini lebih rendah dari permukuaan laut, bau amis, sampah, dan mual dibuatnya. 

Setidaknya ada dua tempat yang dapat digunakan sebagai penitipan kendaraan. Polsek dan lapangan parkir dekat dengan SPBU, di lapangan dekat SPBU itulah kami menitipkan kendaraan. Berbeda dengan perjalanan yang biasa saya dan teman-teman lakukan, kali ini kami menggunakan jasa trip organiser. Liburan semester yang sangat lama dan kerinduan untuk kembali berkumpul menjadi alasan kami lebih baik membayangkan kesenangan yang kami dapat dari pada memikirkan itinerary dan lain-lainnya. Berbeda, tapi nggak kalah seru. Karena sejatinya jalan-jalan bersama mereka selalu asik. 

Kami akan menaiki kapal tongkang. Sebuah kapal yang lumayan besar, menampung banyak penunpang di bagian bawah dan atasnya, dan akan berangkat hanya ketika kapal sudah terisi penuh. Kurang lebih kapal ini akan berlayar selama dua jam, tidak cukup lama, tapi cukup membuat perut bergejolak ketika kapal menghantam ombak, matahari menyengat pas di ubun-ubun kepala, goyang kanan-kiri. Jadi lebih baik duduk di dalam kapal atau di bagian luar yang tidak terkena sinar matahari langsung. Lebih manusiawi rasanya. 


Tiba-tiba seseorang berteriak, "Ada lumba-lumba." Sontak kami keluar dari kapal, berdiri di bagian luar kapal. Saya yang tadinya lemas, seakan mendapat asupan energi, tepat di depan kami ada tiga ekor mamalia laut cerdas melompat-lompat ke permukaan yang seakan menyambut kedatangan kami. Selang beberapa detik kemudian, nampak dari kejauhan sebuah pulau yang menjadi tujuan kami, akhirnya kami sampai !

Pulau Tidung Besar, salah satu pulau berpenghuni yang masuk dalam gugusan Kepulauan Seribu. Terletak di utara Jakarta. Sesuai namanya pulau ini memang cukup besar dibanding pulau terdekatnya yang letaknya hanya dihubungkan oleh jembatan. Mungkin ini salah satu alasana kenapa orang-orang menyebutnya Jembatan Cinta, karena dua hal yang letaknya terpisah kini menjadi satu karena adanya jembatan yang saling menghubungkan dan tak akan terpisahkan. Menjadi semakin menarik perhatian karena adanya bumbu penyedap yang di berikan oleh masyarakat setempat tentang jembatan ini. Tapi sebelumnya, saya akan menceritakan apa yang saya rasakan saat pertama kali berkunjung ke Pulau ini. 

Rasa pertama yang kami rasakan saat tiba di Pulau Tidung adalah lapar !! Bayangin aja, hampir tiga jam lamanya duduk di kapal. Belum lagi ketika melihat kapal cepat yang berangkat dari Marina Ancol melabuhi kita, kesal kali rasanya. Perbandingannya tiga jam dengan satu jam, belum lagi penumpang yang penuh sesak, dan bau tak sedap ketika salah satu penumpang memuntahkan isi perutnya. Hoek ! Karenanya setibanya di homestay kami langsung cuci muka, minum, dan makan sebanyak-banyaknya. Beruntung kami mengunakan agent travel yang tepat, dari segi pelayanan saya kasih nilai oke, sesuai nama paket yang ditawarkan. Dengan mengeluarkan uang 310.000 per orang kami sudah dapat fasilitas yang sangat baik. Mulai dari tiket kapal pulang pergi, penginapan, makan tiga kali, BBQ, sepeda imut, snorkling dan banana boat. Kesimpulannya kami tidak kecewa selama dua hari satu malam disana, apalagi mas arif pemandu kami sangat baik dan ramah. 

Selesai makan dia mengajak kami snorkling di dekat Pulau Tidung Kecil. Hmm.. dalam hal keindahan bawah laut Pulau Tidung Besar bukan tepat yang digolongkan baik. Ombak cukup besar, visibilitas jelek, terumbu karang banyak yang mati, dan ikannya banyak yang pura-pura mati. Karenanya, saya menjadi orang pertama yang nyebur ke dalam laut, tapi orang pertama pula yang kembali ke kapal. Sehabis snorkling kami bermain sport water. Ini aktifitas air yang paling kami tunggu-tunggu, saking nagihnya kami sampai mencoba berbagai macam permainan air disini, seru ! Dan pemandangan dari pantainya benar-benar memanjakan mata. Tapi yang paling bisa mengobati rasa kecewa kami terhadap pemandangan di bawah laut Tidung adalah teman-teman. Teman-teman seperjalanan saya membuat perjalanan kali ini menjadi unforgettable moment. Sudung, Boim, Josua, Haikal, Yuki, Andre, Dewi, Anti, Qori, Stella, canda-tawa mereka membuat suasana tak kalah indah dengan senja saat itu ! 






Jadi dengan berani saya simpulkan, jangan pernah datang ke Tidung sendirian, ajak teman-teman terbaikmu ! Dan ciptakan suasana tak terlupakan dalam hidupmu. Lakukan hal-hal gila bersama, makan ikan bakar di tepi pantai, nonton X-Factor sambil caci maki si Fatin, tidur bareng-bareng, mandi ganti-gantian *yakali tong mandi bareng-bareng, sepedaan bareng, bicarain orang bareng. Pokoknya Tidung emang salah satu tempat asik kalau kalian datangnya ramai-ramai. Seramai klakson motor disana - Iya, saya heran kenapa penduduk lokal disini hobi banget klakson motor. Menurut saya mereka masih kurang paham kalau pulau mereka itu adalah pulau wisata yang menjadi tujuan orang-orang terutama yang tinggal di Jakarta untuk berlibur, jadi seharusnya jangan heran kalau jalanan yang hanya seruas jalan kini jadi penuh sesak oleh pejalan kaki dan puluhan sepeda, apalagi sepeda menjadi transportasi andalan para wisatawan mengelilingi pulau ini, jadi ya ada baiknya tidak tidak menglakson sepeda secara berlebihan ya om, ya.. 

Beda dengan jalanan di pulau Tidung yang brisik tiap ada motor lewat, pesisir pantai Tidung suasanya benar-benar syadu, apalagi jembatan cintanya, melankolis abis ! Pagi hari kami bersepeda menuju Jembatan Cinta. Sebuah Jembatan yang di bangun sebagai simbol perjuangan para jomblo. Inilah tempat favorit di pulau Tidung, puluhan orang melintasi jembatan cinta tiap menitnya, tapi hanya sebagian kecil orang yang nekat melompat dari jembatan ini, merekalah orang-orang yang haus akan cinta. Saya dan Josua salah duanya. Satu.. dua.. tiga.. lompat !!! Dan percayalah semenjak lompat dari sana hidup saya serasa di kelilingi oleh yang namanya Cinta. Indahnya ~

























Senin, 19 Agustus 2013

Senin Gembira





"Mau kemana nih bro?"
"Belum tau e, masih belum cetho."
"Derek, where will we go next?"
"Duh, ora ngerti e, ora cetho ini." *Padahal Derek bule, oke sip !
"Nah, kita ke Cetho aja kalau gitu !"

Jadilah hari ini kami melakukan perjalanan ke candi Cetho. Kurang lebih dua jam dari kota Solo, terletak di dataran tinggi Karanganyar. Bisa dibilang candi ini memang tidak sepopuler kawasan wisata Tawangmangu atau air terjun Gerojokan Sewu. Letaknya yang cukup jauh, dengan jalan berliku khas pegunungan membuat kawasan ini hanya dikunjungi oleh wisatawan minat khusus saja. Sembari membayangkan jauhnya perjalan yang kami tempuh dari kota Jogja, saya akan perkenalkan terlebih dahulu salah satu teman perjalanan kami, yaitu Derek Freal. 



Misi Pak, kami mau foto pak ... (candi Cetho)

Tak heran kalau Derek bisa mengucap beberapa kata dalam bahasa Indonesia, terutama kalau disuruh pesan makanan. Salah satu yang membuat saya kagum dengan dia, adalah pengalamannya melakukan perjalan dari Jogja ke Surabaya menggunakan sepeda motor seorang diri.

"I did not use GPS, just looked at map and met scouts. I just followed local drivers when I met traffic signs. Indonesian drivers are so crazy, yellow means fast! But I am enjoy herre." Dan sontak kami tertawa dengan perkataannya, antara mengiyakan dan malu.

Kalau teman-teman #HiTravelers ! mau mengenal dia, silahken follow twitternya di @Derek_4Real. Dalam kicauannya dia banyak memberikan informasi menarik tentang dunia traveling, atau kalau mau follow @GeorgeGuling juga boleh, iya boleh, apalagi kalau sekalian beli bulu "Hi Travelers !" boleh banget !!! 
dahulu salah satu teman perjalanan kami, yaitu Derek Freal. 


Sudah mengudara dan bisa dibeli di toko buku.

Derek Freal ini seorang backpacker yang tipenya sama kayak saya, kami sama-sama suka daerah pegunungan dari pada pantai. "In Mountain you can see many things, different with beach. You just see waves." Buat yang hobi ke pantai jangan kesinggung ya, ini cuma opini aja, hehe. Tapi beneran kami memang nemuin banyak hal ketika nglakuin perjalanan ini, mulai dari yang udah di duga sampai yang nggak kami duga sebelumnya, so, enjoy reading our jouney ya..

Terletak di kaki gunung Lawu dengan ketinggian 1496 meter diatas permukaan laut, candi Cetho merupkan candi Hindu yang masih digunakan oleh masyarakat sekitar. Ketika memasuki kawasan candi kami melihat batu berukuran sangat besar berbentuk Phallus dan Vagi - nah. Dari informasi yang saya dapat, bentuk tersebut sebagai lambang penciptaan dalam hal ini kelahiran kembali setelah di bebaskan dari kutukan. Itulah mengapa candi Cetho ini memiliki fungsi utama sebagai tempat peruwatan pembebasan diri dari kutukan. 

Candi yang di bangun pada tahun 1475 masehi ini sangat artistik dengan pemandangan sekitarnya yang luar biasa indah. Di pintu masuknya terdapat dua buah bangunan menjulang tinggi dengan gagahnya. Setelah menitih anak tangga menuju gerbang tersebut, tampak dari kejauhan bangunan utama candi dengan halaman yang luas. Jalan setapak halaman candi seakan permadi yang di bentangkan dan berunjung di singgasana  Ratu. Kalau boleh saya andaikan, bangunan utama candi berbentuk piramid itulah singgasana tersebut. Tidak terlalu besar memang, namun begitu memikat. Buat saya, ini adalah kali pertama melihat secara langsung candi berbentuk piramid. Berbeda dengan candi Hindu pada umumnya bukan? 

Tidak hanya di candi Cetho saja yang memiliki bangunan utama berbentuk piramid, hal serupa juga kami temui di candi Sukuh. Letaknya tidak terlalu jauh dengan candi Cetho, perjalanan semakin tak terasa karena kami menuruni jalanan berliku dengan hamparan kebun teh di sisi kanan dan kiri jalan. Dan sempat kami singgah untuk mengabadikannya dalam beberapa jepretan. 

Candi Sukuh terletak di ketinggian 960 meter diatas permukaan laut. Lebih rendah dari candi Centho memang tapi sama-sama mempunyai kemungkinan tertutup kabut ketika menjelang sore, bahkan tengah hari sekalipun. Beruntung saat kami kesana, kabut belum turun sehingga ada banyak waktu untuk menikmatinya. 



Seperti yang saya bilang tadi, bangunan utama candi Sukuh memiliki kesamaan dengan candi Cetho, daaaaan.. bangunan budaya suku Maya, di India, serta bangunan budaya Chitzen Itza di Peru. Nggak percaya? Oke saya jabarkan satu-satu yaa. 

Candi Sukuh dikenal sebagai candi yang menjelaskan tentang kesuburan dan seni bercinta, many statues and relief which were symbol of sex, hal ini hampir sama dengan buku Kamasutra. Dan ternyata, disebuah perpustakaan di Berlin, Jerman, ada buku yang mengambarkan relief awal candi Sukuh secara lengkap, namun sayangnya nasibnya sama dengan buku Kamasutra, kedua buku tentang seni bercinta itu dianggap tabu oleh pemerintah Indonesia sehingga tidak diijinkan untuk dipublikasikan. Huft !

Bangunan utama candi yang berbentuk piramid serupa dengan bangunan budaya suku maya di amerika tengah dan chichen itza di peru. Jadi apakah candi-candi yang memiliki jarak jutaan kilometer jauhnya ini saling berhubungan? Hmmm.. ya.. yaa.. bisa jadi.. bisa jadi.. !!

Samakan ? udah iyain aja ~


Itu tadi beberapa kesamaannya, nah ada juga nih keunikannya, kalau tadi di candi Cetho lihat lambang Pallus dan Vagi - nah segede gaban, di candi Sukuh bentuk semacam itu berhamburan! hahaha, secara candi ini menjadi simbol kesuburan dan seni bercinta jadi ya nggak heran banyak gitunya. Dan ada juga bagian candi yang konon di pakai buat ngetes seorang wanita masih perawan atau enggak. Caranya tinggal masuk ke dalam candi, nanti kalau saat melintasi bagian dalam candi baju yang dipakai sobek atau bahkan sampai terluka tandanya udah nggak perawan, tapi sayang kami nggak bisa nyoba, karena sekarang sudah di tutup dengan pagar dan karena kami laki-laki semua! ngapain cobain begituan! Tapi untuk yang ngetes keperawanan saya rasa itu cuma mitos aja, bagaimana mungkin benda mati bisa nglakuin tes gituan, tidak masuk akal kan? apalagi jika dikaitkan dengan dunia medis.

Mau coba masuk, sayang ditutup.

Ngomong-ngomong masalah nggak masuk akal, ada yang lebih nggak masuk akal lagi nih. saat lagi asik-asiknya foto, saya denger suara berirama dangdut dari balik candi gitu. Karena penasaran saya coba menulusuri suara-suara misterius tersebut, yaa kali aja saya dapat kesempatan lihat dewi-dewi khayangan lagi pada dangdutan.

Dan ternyata bener! Suara dangdut itu emang beneran ada, letaknya di hutan tepat di belakang candi. Tapi bukan dewi-dewi khayangan sedang dangdutan, melaikan puluhan mas-mas telanjang dada lagi ikutan lomba panjat pinang menyambut hari kemerdekaan, hehehe. Jujur, ini baru kali pertama saya melihat lomba panjat pinang, tak ayal saya ikutan man - jat. Enggak, saya nggak ikutan manjat, tapi sibuk fotoin mas-mas ini beraksi. Bahu-membahu, gotong royong kerjasama buat sampai puncak dengan diiringi alunan musik khas tanah air, dangdut! Semangat mas!


Nggak terasa udah lewat tengah hari, sekarang waktunya untuk mengisi perut. Go to eat and keep exploring! Kita gas mobil menuju Tawangmangu. Mampir di rumah makan pecel dan sop buntut Bu Ugi, ini semacam rumah makan enak dan legendaris di Tawangmangu. Kalau kata Derek, "Sop buntunya maknyus!" It was a delicious taste, bro! Dagingnya banyak dan nggak alot, trus kuahnya seger banget seakan menghangatkan dinginnya Tawangmangu saat itu. Karena pengunjungnya ramai banget jadi nggak usah pakai acara nongkrong segara yaa, kalau mau nongrong ke Ndoro Dongker aja, bisa ngeteh sambil lihat perkebunan teh gitu. 

We were full now! Then we would see a lake at Sarangan, ahay ! Jadi di kawasan wisata Sarangan itu ada danau yang sangat luas dan berada di antara barisan pegunungan. Setibanya disana langit biru telah perlahan berubah menjadi jingga. Senja - ketika matahari mulai terbenam diiringi kabut yang perlahan turun menyelimuti hutan pinus di seberang danau, indah banget pemandangannya. Udaranya juga seger banget. We really enjoyed relaxing there. And this was our last destination. It was a great trip and an unforgettable moment!


 Senin Gembira ; 
Sebuah perjalanan ke Candi Cetho, 
Candi Sukuh, Tawangmangu dan Sarangan di Hari Senin.



Seperti candi-candi di Bali ya?


Perkasa


Wohoo !


Masturbasi (?)

Danau Sarangan






Sabtu, 03 Agustus 2013

Embung Langgeran : Ketika Pagi Masih Muda !


Sebelumnya, kenalin dulu ya mainan baru saya, hitam legam, kecil dan berbahaya, yang pastinya mau nggak mau bakalan jadi teman setia saat backpackeran.




Canon Powershot G1 X. Ini adalah jenis kamera Prosumer, singkatan dari Profesional Consumer, pengertian bebasnya kamera dengan pemakaian yang mudah seperti kamera pocket tapi hasil jepretannya nggak kalah sama dslr. Kamera ini bener-bener buat saya jatuh cinta pada pandangan pertama #hasek. Selain kualitas gambar yang sangat bagus, kamera ini ringan dengan bentuk yang pas ketika di genggam, membuat akselerasi saya saat traveling semakin lincah dan gesit ! Hahaha.

Kamera ini cuma berbobot 390 gram, resolusi 14,2 mega pixel, flip-out screen jadi bisa ngambil gambar atau film dari berbagai sudut dan kalian bisa ngambil gambar dengan gaya sebebas mungkin, ngalahin gaya orang yang di foto malah. Trus bisa juga diatur ke modus manual buat di otak-atik exposure, ISO dan lain-lainnya, hebatnya lagi ini kamera bisa diatur ke modus tembus pandang !! Uulala ~ 

Sehari setelah kamera ini di beli, udah langsung saya perawanin. Saya bawa ke tempat yang sepi, sejuk, dan adem, tempatnya nggak jauh dari kota Jogja, sekitar 40 menit aja. Yap ! Embung Langgeran, salah satu tempat wisata yang masih baru di Gunung Kidul, satu kawasan sama Gunung Purba Nglanggeran. Tempat wisata ini diresmikan Februari 2013. Banyaknya gunung-gunung purba yang udah nggak aktif di daerah Gunung Kidul dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah setempat, mereka memotong bagian puncaknya dengan sedemikian rupa sehingga terbentuk lubang besar guna menampung air hujan. Air hujan di embung tersebut digunain sebagai sumber air bagi kebun buah di sekitarnya, seperti kebun durian dan kebun cokelat. 


"Sekarang sumber air su dekat, tong su tidak susah lagi cari-cari air buat siram tanaman. Tong pu tanaman sekarang su subur." Kata salah seorang warga kampung sini, iya asli sini.

Karena masih baru, tanaman disana pada belum berbuah. Jadi baru bisa lihat-lihat penampungan dan pemandangan sekitar. Saya dan teman-teman datang kesana ketika pagi masih muda, matahari masih belum sepenuhnya menampakkan rupanya. Dari atas embung saya melihat hutan-hutan masih diselimuti oleh kabut, membentuk gumpalan dan berjalan perlahan tertiup oleh angin menyerupai gulungan ombak, sempat kami mengira itu adalah laut selatan. Ketika mulai terang, embung mulai terlihat dengan jelas, seriusan, kerennya semena-mena ! Ini penampungan, tapi bentuknya kayak danau buatan gitu, air hujan tapi airnya bersih berwarna biru toska, nggak boleh berenang tapi menggoda banget buat nyebur. 

Saya saranin kalau datang kesana subuh-subuh, jam empat pagi berangkat dari Jogja, atau sore-sore sebelum matahari terbenam. Menurut saya waktu-waktu itu merupakan saat yg tepat untuk mendapatkan gambar dengan pecahayaan yang sempurna. Dan hasil lain dari jepretan canon powershot G1 X bisa dilihat disini, mari : Kumpulan Foto Embung Langgeran



Habis dari sana sekalian aja sempatin ke Gunung Purba Ngalanggeran, Gunung Purba yang purba banget! Ini artikelnya : Gunung Purba Nglanggeran itu Purba Banget !



Jumat, 14 Juni 2013

Bicara Pagi

''Sudah jam tujuh !'' Suaranya begitu keras bagi seorang perempuan berumur sekitar 30 tahun. Seorang pembantu yang bekerja di sebuah rumah milik seorang nenek, kebetulan rumahnya tepat di depan kamar saya. 

Itulah yang pembantu ini lakukan tiap hari, tiap pagi, bahkan tiap saat ketika berbicara dengan nenek (maaf) yang sudah tunarungu. Sebenarnya kata-kata yg diucapkan pembantu tak pernah lebih dari 30 detik panjangnya, tapi pengulangannya bisa dua menit lamanya. 

Teriakkannya diulang tanpa ada penurunan intonasi. Entah sampai kapan pembantu malang ini melakukan hal demikian, ketika Tuhan masih meberi umur panjang untuk nenek, mungkin saja sampai pita suara pembantu ini tak lagi berfungsi. Bisu, mungkin..

Saya mencoba merefleksikannya ke kehidupan saya sehari-hari, ya.. Kehidupan saya selama dua puluh satu tahun ini. Tak di pungkuri saya pernah melakukan hal semacam itu, teriakkan sebagai simbol kemarahan, entah itu kepada orang tua, adek, teman, bahkan pacar.

Sebagai orang yang terlahir dari keturunan Sulawesi Selatan, intonasi tinggi bukan hal yang aneh dalam gaya bicara kami, tapi apakah itu hal yang wajar ketika saya berada di tanah Jawa? Tidak, tidak wajar sama sekali. Papa saya selalu mengingatkan saya akan sebuah pepatah lama ''Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung.'' Ketika saya marah dengan orang tua, teriakkan sering keluar dari mulut saya. Lega? Tidak. Orang tua saya selalu diam ketika saya marah, sehingga yang ada hanya rasa bersalah dan penyesalan.

Saya jadi teringat sebuah moment ketika masih bersekolah di De Britto. ketika itu, guru saya mengajak siswanya ke sebuah lapangan sepak bola, awalnya kami disuruh saling berpasangan, dengan jarak sekitar 30 cm kami disuruh saling berbicara. 

Semakin lama kami disuruh menjauh satu sama lain, semakin jauh dengan tetap berbicara, kemudian kami disuruh untuk saling berteriak agar suara kami terdengar oleh teman bicara. Apakah kami saling mendengar pada jarak 800 meter ? Tentu tidak !

''Berbicara dengan intonasi tinggi tidak menjamin semuanya akan menjadi jelas dan membuat jarak semakin dekat. Ketika kalian sedang ada masalah, apakah berbicara keras akan menjadikan semuanya kembali seperti biasa? Duduk dan berbicaralah tanpa intonasi tinggi, santun dan jelas. Saling memahami dan mengerti satu dengan yang lain.'' Pak Catur.



Kata-kata adalah sumber kekuatan. - Andrea Hirata 

Sabtu Pagi, 15 Juni 2013

Kamis, 14 Februari 2013

Garut : Perhiasan Alam di Tanah Sunda






Pikir saya, pasti akan dapat tempat duduk. Terlihat dari kejauhan angkot sepi oleh penumpang, dengan santainya saya berjalan mendekati arah angkot hingga tiba-tiba... Gruduk !! Puluhan anak kecil berlarian ke arah saya, ada yang tidak sengaja menyenggol, ada juga yang sengaja menghindari saya, mereka semua berebut naik, dan angkot yang tadinya sepi langsung penuh dalam sekejap !!

Begitulah pagi disini, ketika anak-anak akan berangkat ke sekolah, angkot-angkot di Garut berubah menjadi mobil antar jemput sekolah dadakan. Jadi jangan pernah berharap bisa duduk di dalam angkot tanpa harus berdesak-desakan. Tapi beda cerita ketika jam masuk sekolah telah lewat, angkot yang tadinya ramai oleh anak sekolahan digantikan oleh penumpang dari berbagai macam usia yang selalu di dominasi oleh perempuan !

Awalnya saya tidak merasa aneh dengan hal ini, namun karena selama di Garut keseringan naik angkot, saya mulai menyadari ada sesuatu yang unik disini. Tidak hanya sekali dua kali saya selalu berada diantara penumpang perempuan, jarang saya temui penumpang pria naik angkot, apalagi anak mudanya, hampir nggak pernah. Nah, kata mas Dede kejadian seperti ini sudah lumrah di Garut, ''Laki-laki jarang naik angkot, gengsi, kalau bisa ya naik motor, yang knalpotnya berisik itu.'' Katanya.

Mungkin itu salah satu alasannya, biarlah, seenggaknya saya nyaman banget dengan kondisi ini. Udara di Garut yang sejuk, lalu lintas yang nggak terlalu padat, dan yang terpenting saya selalu berada di antara penumpang cantik selama naik angkot. Horas bah !!

Selain penumpang yang cantik-cantik, armada angkot disini juga banyak dan menjangkau hampir seluruh tempat wisata. Tujuan pertama saya di Garut adalah berkunjung ke Situ Bagendit. Sebuah danau dengan legendanya yang tersohor itu, begini kisahnya.. 


Alkisah hiduplah seorang Nyai yang kaya raya. Punya banyak uang, banyak mobil, gadget holic, sophaholic, rambut belah tengah, followernya pun buanyak, tajir dan terkenal deh pokoknya. Hingga suatu ketika datanglah seorang pengemis kerumahnya.

''Nyai, bagi duit dong.''
''Muke gile, duit dari hongkong?!''
''Endit amat dah, gopek doang, belum makan nih seharian.''
''Nggak ada duit, pergi! pergi!''
''Ah yang boneng? Yaudah deh, ijin tancepin lidi di halaman rumah Nyai ya? Ini lidi kalau dicabut bakal keluar air bah lho, cobain deh.''

Dan sebatang lidi tertancap di halaman rumah Nyai. Karena penasaran dengan perkataan pengemis, si Nyai yang endit itu mencoba mencabut lidi tersebut. Setelah lidi tercabut, tiba-tiba air keluar dari tanah, semakin lama semakin deras, kemudian mulai membanjiri halaman rumah dan ladang gandum, hingga jadilah Coco Cruch !! Oke sip, itulah asal-usul Coco Cruch versi Garut.

Sehabis dari Situ Bagendit saya menuju ke Situ Cangkuang. Tempat wisata ini cukup terkenal karena diseberang danau terdapat sebuah kampung adat yang bernama Kampung Pulo. Diberi nama Kampung Pulo karena, konon dulunya kampung ini memang berada di tengah danau layaknya sebuah pulau, tidak terhubung daratan seperti sekarang. 


Kampung ini unik, karena hanya berdiri tujuh bangunan saja dan tidak boleh di tambah. 6 rumah dan 1 masjid, yang melambangkan tujuh anak (enam perempuan dan satu pria) dari Arif Muhammad. Beliau adalah penyebar agama Islam di Garut dan panglima perang kerajaan Mataram. Sayang, akses menuju ke kampung Pulo nggak bisa dibilang bagus, jalananya rusak !!

Tipikal tempat wisata di Indonesia kan? Transportasi yang sulit atau ala kadarnya, jalanan rusak dan informasi bagi wisatawan yang kurang memadai. Padahal potensi wisata di Garut nggak bisa di pandang sebelah mata. Suasananya yang masih alami, kebudayaan yang masih terjaga, tempat wisata alam yang sangat indah: mulai dari danau, kawah, pantai hingga pegunungan, belum lagi masyarakatnya yang ramah. Sayang banget deh kalau nggak dikembangkan dan dijaga !!

Papandayan misalnya, jangan bayangin jalanan kesana kayak jalanan pegunungan yang ada di gambar anak-anak TK. Sepanjang jalan aspalnya sudah belobang semua dan besar-besar banget !! Bisa kali tuh lobang buat ternak lele !! Huh !!

Waktu itu saya ke papandayan bersama mas Herry, kakak mas Dede, kami sampai nggak tega lihat motor yang kami tumpangi menerjang kejamnya jalanan. Untunglah saat itu, ada seseorang yang berbaik hati mengantar saya ke pintu masuk objek wisata. Dengan licah dan gesit motor jenis trail ini melaju, meski akhirnya pantat saya sakit dibuatnya. Bagaimana nggak sakit, motor trail ini digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan, sehingga jok bagian belakang dilepas hingga tersisa besinya saja, pantat terasa nyut-nyutan !!

Dan papandayan itu keren banget !!! Salah satu sisi gunung berwana hijau karena ditumbuhi berbagai macam tumbuhan termasuk bunga edelweiss, sisi lainnya merupakan deretan batuan yang enggak ditumbuhi tanaman, terdapat kawah yang senantiasa menyemburkan uap, dan aliran air yang seolah-olah membelah pegunungan ini. Serius, cantik banget !




Lesson from the road :

  • Saat musim kemarau pada malam hari suhu di Garut bisa mencapai 10 derajat celcius. 
  • Saat musim hujan, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk jalan-jalan, karena biasanya Garut akan di guyur hujan setelah jam 12 siang. 
  • Jika tidak berencana mendirikan tenda di gunung Papandayan, datanglah ketika pagi dan pulang sebelum jam 12 siang, karena kabut akan turun membatasi jarak pandang. 
  • Siapkan uang seribuan, karena sangat mempermudah ketika naik angkot.

How to get there : 

  • Terminal di Garut : Terminal Guntur.

Galeri Foto :


SITU BAGENDIT

 



 SITU CANGKUANG DAN KAMPUNG PULO
 






 GUNUNG PAPANDAYAN










Galeri Video :




Baca Juga : Hi, Garut !

Foto yang baik adalah ketika suatu saat kembali melihat, lantas terbawa ingatan akan kenangan di dalamnya. - Hi Travelers !