Selasa, 19 Juni 2012

Secuil Pikiran Nakal




Kalau saat di jalan kebelet pipis tapi bawa mobil sendiri sih nggak masalah, nah ini, udah naik bus, berhenti cuma sekali, di tambah dengan A C yang dingin banget dan nggak bisa kecilin, apalagi dimatiin! Sial!

Mulai dari Vietnam, Cambodia, Thailand, Malaysia, dan dilanjutkan ke Singapore menggunakan jasa transportasi bus yang berangkat pada malam hari adalah pilihan kami untuk mengunjugi negara satu ke negara lainnya. Ada saja keuntungan melakukan perjalanan menggunakan bus saat malam hari. Kami bisa menghemat biaya menginap di hotel, karena tergantikan dengan bermalam alakadarnya di dalam bus. Selain itu dengan berangkat atau meninggalkan suatu tempat pada malam hari, maka saya mempunyai banyak waktu untuk mengeksplore suatu tempat tersebut mulai dari pagi hari terlebih dulu. Sebagai seorang backpacker yang tidak mempunyai banyak waktu libur, tentu waktu sedetik-pun sangat berharga bagi saya. Sebisa mungkin menjadikan waktu yang terbatas menjadi efisien dan efektif.




Dan ini adalah kali pertama saya naik bus lintas negara, nggak kebayanglah sebelumnya bisa duduk berjam-jam dalam sebuah bus untuk keluar dari negara satu dan masuk ke negara lain. Biasanya bus double deker atau bus tingkat yang biasa digunakan. Perawakan busnya gede, dalamnya beda lho sama bus pada umumnya, mau tau bedanyakan? Jadi, di dalam bus double deker itu ada puluhan deretan kursi penumpang, dan ada juga kursi untuk sopir. Lha lho?! Itu bedanya???!!! Ngok!

Baik saat di pesawat maupun sebelum naik bus atau sebelum memasuki kantor imigrasi suatu negara, kita di wajibkan untuk mengisi kartu imigrasi. Isi kolom-kolom pada kartu imigrasi tersebut dengan huruf kapital ya! Kalau misal salah nulis ya jangan panik, nggak perlu minta kertas baru, cukup coret huruf yang salah dengan dua kali coretan, ingat dua kali, tidak lebih apalagi hingga dihitamkan. Kalau belum punya tempat tinggal, karena masih mencari, maka di isi asal saja, misal Khaosan Road jika di Thailand, atau Bu Vien jika di Vietnam.

Intinya nggak ribet kok mengurus ijin di kantor imigrasi, apalagi pemegang paspor Indonesia, karena kita dapat dengan mudahnya masuk ke negara-negara di Asia Tenggara tanpa menggunakan visa, tentu dengan batas waktu tinggal sesuai ketentuan negara yang bersangkutan. Jika petugas imigrasi mengajukan beberapa pertanyaan, seperti tinggal berapa lama, tujuan datang, alamat menginap, dan lain-lain. Jawab saja dengan tenang, santai, sopan dan meyakinkan, beres deh!

Sekarang adalah hari kedua belas dalam rangkain perjalanan saya mengelilingi lima negara di Asia Tenggara. Tidak ada halangan dan hambatan berarti selama perjalanan ini, syukurlah! Namun suatu saat sempat terlintas pikiran nakal dalam benak saya. Kok perjalanan saya lancar-lancar saja ya? Nggak ada halangan apa gitu? Duh! Secuil pikiran nakal yang amit-amit kalau sampai terjadi. Dan tarrraaa . . . pikiran nakal itu menjadi kenyataan! Dyar!

Begini ceritanya,

Namanya Antimo, obat anti mabok, 100% Indonesia, 100% Cinta Indonesia. Obat seukuran upil Brotosaurus ini (Kayak udah pernah lihat upilnya aja!) adalah teman setia perjalanan saya, sekali minum, glek! Kemudian terlelap.

Menurut saya obat ini lebih tepat dibilang obat tidur sih dari pada obat anti mabok. Gara-gara Antimo juga saya sampai melewatkan rest area, dan ternyata bus ini cuma berhenti sekali selama perjalanan dari Penang ke Singapore, padahal saat itu saya sedang kebelet pipis banget nget! Jongkok udah, nungging udah, khayang juga udah, tetep aja masih kebelet! Botol! Botol mana botol . . . ! ! !

Kami tiba di Woodlands Checkpoints Singapore. Awalnya semua nampak baik-baik saja. Mengisi kartu imigrasi sudah, paspor ada, mengantri dengan baik dan benar juga iya, ya elah apa-apaan ini, setetelah paspor milik Fadly diperiksa, petugas imigrasi justru membawa kami bertiga ke suatu ruangan di lantai dua. Entah apa sebabnya, di kantor dengan tulisan I.C.A (Immigration & Checkpoints Authority) yang terpajang di ruangan ini, saya melihat ada begitu banyak orang yang sepertinya bermasalah. Ada seorang laki-laki berpakaian lusuh yang lebih mirip seperti pengemis. Seorang bapak yang sedang duduk merenung. Kemudian ada dua orang kakak beradik asal Malaysia yang ingin masuk ke Singapore tapi tidak mempunyai paspor, duh! imut sekali mereka!


Kira-kira dua jam kami menunggu di dalam kantor itu, kemudian satu per satu dari kami di suruh masuk kedalam sebuah ruangan, paspor di cek, dan beberapa menit kemudian disuruh keluar lagi. Oke, sampai sekarang saya belum tahu apa alasannya. Saya bertanya, tapi mereka cuma diam saja. Masalah nggak cuma sampai disini, kami turun menuju parkiran bus, mencari bus yang tadi membawa kami dari Penang menuju Singapore, dan ternyata bus yang kami tumpangi sudah pergi, menghilang entah kemana.


Kami pun mencari akal untuk pergi ke Golden Mines, Singapore. Setelah bertanya sana-sini akhirnya kami mendapat pencerahan, kami diantar oleh seorang petugas imigrasi menuju armada bus lain namun satu perusahaan,  kami diminta menunjukkan karcis bus yang kami beli saat di Penang, untunglah karcisnya tidak kami buang sehingga kami tidak harus membayar lagi. Lega rasanya.




Life is a Journey, not a Destination 




Senin, 04 Juni 2012

Love Lane






Kalau ditanya sebuah tempat yang paling berkesan selama saya di Penang, tentu jawabnya adalah Love Lane.


Mengelitik tawa ketika saya melihat gambar setengah hati atau simbol love berwarna merah tergambar di dua telepon umum yang terpasang di sudut jalan, setengah hati pada bagian satu, dan setengah hati pada bagian lainnya. Jika saya berdiri diantaranya maka saya akan menjadi manusia bersayapkan hati, hahaha!




Saya berjalan lebih dalam menyusuri ruas jalan. Tidak jauh dari telepon umum tadi, Reggae Hotel berdiri tepat disisi kanan jalan. Disanalah saya akan menginap tidak lebih dari 24 jam.

Setelah meletakkan tas ransel di dalam kamar, saya turun ke lantai dasar, kemudian duduk diluar untuk berleha-leha sejenak, berharap bisa sedikit merelaksasikan tubuh sambil melihat-lihat hasil jepretan yang sengaja saya abadikan. Diantara bagian tubuh yang lain, sudah pasti bagian kaki-lah yang paling capek, hampir di semua negara yang kami kunjungi berjalan kaki berkilo-kilometer adalah pilihan utama kami untuk mencoba menyesatkan diri. Menyenangkan tapi melelahkan juga, alhasil dua kapal berlabuh di kedua telapak kaki saya, kiri satu, kanan satu, sempurna!

Beberapa jam kemudian datang seorang wanita menghampiri saya.

''Hello. Ada yang bisa saya bantu?'' Tanya wanita ini sembari melempar senyum yang nampak dipaksakan.

''Oh tidak, terimakasih. Saya hanya ingin duduk-duduk saja disini, bolehkan?''

''Tentu. Darimana kamu berasal?''

''Indonesia. Kamu?''

''Burma.''

''Myamar?''

''Iya. Kamu pernah kesana?''

''Belum, suatu saat mungkin.''

''Kamu harus kesana. Banyak tempat indah disana.''

''Oke. Oia, siapa nama kamu? Duduklah disini, supaya kita bisa lebih santai ngobrolnya.'' Saya menarik kursi yang berada dibawah meja dan mempersilahkan dia duduk.

''Hehe maaf, tidak enak kalau saya duduk satu meja dengan tamu hotel.'' Dia menyatukan kedua telapak tangannya, isyarat menolak.

''Hadeh! Tak apa. Santai saja.''

''Hehe takut dimarahi bos.'' Dia menunjuk ke arah respesionis. Kemudian pergi meninggalkan saya.

Beberapa saat kemudian dia berbalik ke arah saya. Kemudian mengibaskan tangan kanan-nya kearah depan, sambil tersenyum dia berucap. ''Kamu harus pergi ke Myanmar. Beautiful country!'' Ciat ciat ciat. Senyumnya begitu lepas, manis sekali.

''Hahaha oke oke! Senang berkenalan denganmu, wanita Burma.''


Begitulah, selalu saja ada yang datang tiba-tiba, kemudian pergi begitu saja. Seperti kata kalian-kan? Setiap Pertemuan pasti selalu ada Perpisahan. Dan bagi saya, perpisahan merupakan awal untuk bertemu kembali, entah kapan dan dimana.

Badan-nya kurus, warna kulit-nya hitam dan mata-nya sayu, kalau dicermati dengan seksama penampilan fisik-nya mirip seperti orang India pada umumnya. Tapi dugaan saya meleset, Kobit bukan orang India, melainkan Bangladesh.

Laki-laki ini sangat ramah dan baik hati, saat hendak menuju kamar dia memaksa untuk membawa tas ransel  milik saya. 

''Saya saja yang bawa, kamu terlihat letih sekali.'' Kata kobit.

Memang sih saya merasa capek banget, tapi rasa-rasanya kalau hanya membawa tas ransel ke dalam kamar bukanlah sesuatu yang membutuhkan banyak energi. Yasudalah, apa boleh buat.

''Mau kemana hari ini George ?''

''Belum ada rencana. Mungkin ke Gurney Drive Hawker. Mmm kamu . . .''

''Dari sini naik bus ke Komtar, dilanjutkan naik Rapid Bus nomor 103 .'' Kobit memberikan informasi itu ketika pertanyaan belum sempat saya ucapkan.

Nah lho jangan-jangan dia bisa membaca pikiran saya, atau dia sudah paham betul bahwa pertanyaan sejenis itu selalu keluar dari mulut setiap wisatawan. Sepertinya alasan kedua lebih masuk akal!

Setelah meletakkan ransel di dalam kamar, saya hendak mengisi botol minum, kata resepsionis dispenser-nya ada di sebelah kamar, tetapi nggak terlihat sama sekali ada dispenser di samping kanan-kiri kamar saya, saat dalam keadaan mencari seperti ini tiba-tiba pundak saya ditepuk dari belakang, oh, ternyata Kobit.

''Mencari dispanser ?''

Waduh! Kenapa orang ini selalu memberikan jawaban yang saya butuhkan sebelum saya mengajukan pertanyaan ya.

 ''Kok tahu ?''

''Itu.'' Kobit menunjuk ke arah tangan saya.

Aih! Plak! Tolol-nya saya, jelas-jelas dari tadi saya mondar-mandir di lorong ini sambil membawa dua botol kosong. Pantaslah kobit tahu apa yang ingin saya temukan. Sial!

Setelah mengisi air, saya pun turun ke lantai dasar bersama dengan Kobit, rencananya saya hanya akan duduk - duduk saja sambil melihat-lihat hasil foto selama perjalanan ini, tetapi terpikir dalam benak saya  untuk memfoto Kobit terlebih dahulu di depan hotel, ya semacam untuk kenang-kenangan saja.

Kobit pun berpose dan saya memfotonya. Kemudian Kobit juga membolehkan saya memfoto tiap sudut hotel, katanya agar saya selalu mengingat tempat ini. Siap Kobit !

Itu-lah Kobit, dia selalu saja datang tiba-tiba dan melakukan tindakan yang tidak terduga. Ketika saya sedang berada di hotel, pasti ada saja waktu dimana kami saling bertemu, kami saling bertegur sapa, dilanjutkan dengan ngobrol sepatah dua patah kata, lalu berpisah. 

Tetapi pagi itu saya tidak bertemu Kobit sama sekali, padahal ini adalah hari terakhir saya di Penang, apa mungkin dia tidak kerja shift pagi ya? Baiklah kalau begitu, saya akan keliling-keliling Penang dulu, berharap saat kembali ke hotel saya akan bertemu dia lagi.

Mencoba Bercinta - Kura-Kura di Kek Lok Si Temple

Sepuluh jam saya mengalokasikan waktu untuk melihat-lihat spot-spot menarik di Penang, karena jam 21.00 saya harus ke Komtar untuk melanjutkan perjalanan ke Singapore, dan sepuluh jam adalah waktu yang cukup, cukup jika hanya melihat-lihat, tetapi sangat tidak cukup untuk menikmati suasana Penang. Kurang puas rasanya.

Sebelum kembali ke hotel saya makan nasi lemak dulu yang berada di dekat telpon umum bergambar hati. Penjual nasi lemak ini adalah dua sahabat asal India, salah satunya berbadan sangat besar, gendut lebih tepatnya. Setelah banyak ngobrol daripada banyak makan saya beranjak pergi sambil berpamitan dengan mereka. Saya pun meminta foto bersama dengan salah seorang dari mereka.

''Bawa foto itu saat kamu kembali lagi ke George Town. Hati-hati di jalan, semoga selamat sampai Singapore.''

''Hahaha. Oke. Terimakasih.''




Kobit. Dimana orang itu? Saya sudah meminggul ransel, sebentar lagi saya akan pergi ke Komtar, pergi meninggalkan Penang. Sungguh, rasanya ada yang kurang jika belum bertemu dan berpamitan dengannya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Spertinya saya memang harus meninggalkan hotel ini tanpa berpamitan dengan Kobit. Saya melangkahkan kaki keluar, kemudian saya bertemu dengan wanita Burma, saya pun mengucap salam perpisahan dengannya, dan dia membalas dengan senyuman.

Sekarang saya sudah berada diluar hotel, berdiri beberapa meter di depan Reggae Hotel, terdiam sesaat, kemudian melihat ke arah resepsionis dimana awal saya disambut di Penang oleh seorang gadis cantik berwajah oriental, ke arah cafe tempat pertama kali saya bertemu dengan wanita Burma, melihat ke arah lorong tempat biasa para backpacker dari berbagai penjuru dunia sering berkumpul mengakrabkan diri saat malam menjelang. Ah! Berat rasanya, saya pasti akan sangat merindukan tempat ini, rindu akan kehangatan dan keramahan masyarakat Penang, terutama pemuda Bangladesh itu. Sudahlah, kaki harus tetap melangkah, saya harus melanjutkan perjalanan, bukankah saya yakin kalau perpisahan adalah awal untuk bertemu kembali.


''George !''


Aha! Saya kenal betul suara itu, saya melihat dia berdiri di lorong lantai satu hotel.


''Kobit! Kemana saja kamu! Saya mencarimu dari tadi !''


Lega rasanya dapat melihat dan berpamitan dengannya! Kami pun saling melempar tawa, saling melambaikan tangan, dan saling menyampaikan harapan untuk dapat bertemu kembali. Di Love Lane kami berpisah.