Senin, 10 Desember 2012

Where Should We Go Next ?








Likuk Family - Hold Together !!






Spartan (Petroleum Engineering Class Of 2010)




Minggu, 02 Desember 2012

Tana Toraja : Negeri Orang Mati yang Hidup




27 Desember 2011
Dengan sedikit melompat saya turun dari mobil. Semalaman hujan mengguyur, sehingga sebagian jalan tergenang oleh air hujan, apalagi jalannya masih tanah, jadi solusi terbaik adalah berjalan tanpa alasan kaki.
Hari ini kami berkunjung ke rumah nenek untuk menghadiri kebaktian Natal dan pemberkatan Tongkonan atau yang biasa disebut dengan Rambu Tuka'. Oia, sudah tahu belum Tongkonan itu apa?
Tongkonan itu rumah adat khas Tana Toraja. Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung, berpondasi kayu, dan atapnya berbahan bambu yang tersusun rapi membentuk seperti perahu.
Di dalam Tongkonan ini hanya terdiri dari ruang yang di fungsikan untuk menyambut tamu, ruang kamar tidur, dan terhubung langsung dengan ruang yang difungsikan sebagai dapur. Tepat di depan Tongkonan utama terdapat lima buah Tongkonan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi.
Seperti Tongkonan pada umumnya, Tongkonan ini juga dihiasi oleh ukiran-ukiran pada bagian dindingnya dengan di dominasi warna merah dan hitam. Sedangkan di depannya tedapat tanduk kerbau dan lambang seekor ayam.
Nah, lambang-lambang yang menghiasi Tongkonan itu memiliki makna dan arti tersendiri lho.. Lambang seekor ayam mememiliki makna ketangguhan dalam menjalani kehidupan dan tanduk kerbau mengartikan berapa banyak upacara adat yang diselenggarakan oleh pihak keluarga, selain itu menjadi simbol tingkat sosial masyarakat Toraja.
Jika ke Toraja coba sempatkan untuk berkunjung ke Kete' Kesu. Di perumahan adat Toraja tersebut terdapat puluhan Tongkonan yang usianya sudah ratusan tahun. Disana kita akan melihat banyak sekali tanduk kerbau yang menghiasi bagian depan Tongkonan. Nggak kebayang udah berapa banyak upacara adat yang diadakan dan berapa ratus ekor kerbau yang sudah di sembelih!
Upacara adat kematian dan upacara syukur memang melekat dengan masyarakat Tana Toraja. Dan untuk mengadakan upacara tersebut tentu membutuhkan biaya yang sangat besar. Selesai mengikuti acara di rumah nenek, saya mendapat kabar kalau ada salah seorang anggota keluarga yang sudah meninggal namun belum di kuburkan. Karena penasaran saya pun bergegas munuju kesana.
Rumahnya tidak jauh dari rumah nenek, kira-kira hanya butuh sepuluh menit dengan berjalan kaki. Sesampainya disana saya disambut oleh puluhan anak kecil yang berhamburan keluar dari dalam rumah, buset dah ternyata saudara saya di kampung buanyak buanget!! Hahaha.
Saat masuk ke dalam rumah saya tidak henti-hentinya mengucap kata permisi dan memanjatkan doa. Gilak! Sudah kesekian kali saya ke Toraja. Tapi ini adalah kali pertama mendapat kesempatan melihat orang yang meninggal sudah enam bulan lalu, tapi belum dikubur sampai sekarang!
Perasaan khawatir mulai menyelimuti, tapi rasa penasaran jauh lebih dominan saat itu, dan seketika bau busuk terhirup oleh hidung! Ciat.. ciat.. ciat.. Dengan jelas saya melihat mayat berbaring di atas kasur! Berbusana serba hitam dan lengkap dengan pernak-perniknya. Wajahnya berwarna putih pucat, dan sekujur tubuhnya nampak sangat kaku. *Hiii, serem!
''Hoey nenek, ampomu datang dari Jogja'' Setelah tante saya mengucapkan kata itu, seketika bau busuk tak tercium lagi. Kata tante bau busuk itu sebagai tanda kalau orang yang telah meninggal menyambut baik kedatangan saya. Hmm.. entahlah.
Orang Toraja percaya, bahwa setiap orang pasti pernah berbuat baik di masa hidupnya, sehingga penghormatan berupa upacara adat kematian yang dikenal dengan nama Rambu solo' perlu diadakan. Itulah alasan nenek ini belum dikubur. Terlebih dahulu keluarga harus musyawarah dan mempersiapkannya dengan matang. Setelah upacara adat di selenggarakan, barulah mayat tersebut dikuburkan ke dalam rumah pemakaman yang disebut Pa Tani.




28 Desember 2011
Setelah kemarin mengikuti rangkain acara di rumah nenek dan berkesempatan melihat mayat yang belum dikubur, hari ini saya akan melihat langsung upacara adat kematiannya.
Dari sebuah informasi, ternyata di hari ini berlangsung empat upacara ada kematian di berbagai desa dengan rangkaian upacara yang berbeda pula. Artinya saya mempunyai kesempatan untuk melihat beberapa rangkaian upacara adat hanya dalam satu hari saja. How lucky i am!
Rangkaian upacara adat pertama yang saya lihat adalah Ma'pasilaga tedong atau adu kerbau. Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan dengan pagar bambu setinggi satu meter sebagai pagar pembatasnya. Di lapangan yang cukup luas inilah, satu demi satu kerabu di adu kekuatannya. Dua ekor kerbau akan saling bertabrakan, mengadu kepala, dan berusaha saling membanting dengan kedua tanduknya. Penonton pun sontak berteriak kegirangan sembari melompat-lompat ketika kerbau jagoannya berhasil memukul mundur lawannya.

Ketegangan tidak sampai disitu saja. Kerbau yang kalah biasanya akan ngacir tak tentu arah, saat seperti itulah suasana menjadi sangat heboh, ribuan orang berhamburan menghindari kerbau. Tak jarang ada yang terkena seruduk tanduk kerbau atau jatuh di parit. Serulah pokoknya!



Namun ada juga rangkaian upacara adat yang membuat rasa menjadi ngilu. Ketika saya melihat ratusan ekor kerbau dan babi disembelih secara kolosal oleh para penjagal.
Banyaknya kerbau dan babi yang sembilih ini tergantung dari strata sosial keluarga tersebut. Biasanya ada juga kerabat keluarga yang ikut menyumbangkan kerbau maupun babi dalam upacara adat ini. Dan luar biasanya, upacara adat ini bisa berlangsung hingga satu minggu lamanya dan menghabiskan dana hingga Milyaran rupiah!

Tidak salah jika Tana Toraja mendapat julukan sebagai negeri orang mati yang hidup. Tana Toraja memiliki kebudayaan yang syarat akan makna. Sebagian besar tempat wisatanya pun memamerkan cara pemakaman unik di masa lampau yang masih terjaga hingga sekarang. Belum lagi pemandangan alam pedesaan dan bukit-bukit hijau yang luar biasa indah. Tetaplah lestari Tana Toraja!




Lesson from the road:


  • Iklim di Tana Toraja lumayan dingin saat malam hari dan curah hujan cukup tinggi. Tanggal dilaksanakannya upacara adat kematian di Tana Toraja memang tidak pasti, ada baiknya mencari informasi terlebih dahulu melalui mesin pencari informasi di dunia maya.                                                                                  
  • Tidak jarang upacara adat kematian di Tana Toraja diadakan pada akhir bulan Desember. 
  • Selain itu pada bulan Desember di Tana Toraja juga berlangsung event pariwisata Lovely December yang menampilkan berbagai macam kegiatan seni dan budaya.

How to get there:

  • Bandara di Tana Toraja: Bandar Udara Pongtiku. Berangkat dari Bandar Udara Internasional Hasanuddin Makassar (UPG) yang memiliki jadwal penerbangan satu kali sehari pada hari Selasa dan Jumat, dengan menggunakan pesawat jenis CASSA. 
  • Menggunakan jasa travel atau bus dari kota Makassar menuju Rantepao. 
  • Cara terbaik untuk berkeliling kota adalah dengan menyewa mobil atau motor.




To do list: 

Batutumonga. Berlokasi di gunung Sesean yang beriklim dingin. Ditempat ini kita dapat melihat hamparan sawah, hijaunya pohon pinus dan kota Ratepao dari ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Sayangnya jalan menuju Batutumonga banyak yang rusak, dan belum ada pembatas sisi jalan yang memadai padahal terdapat jurang dan tebing yang sewaktu-waktu dapat longsor, karenanya dituntut ekstra hati-hati ketika hendak menuju ketempat ini.

Lo'ko Mata. Lokasinya tidak jauh dari Batutumonga, berada di lereng gunung Sesean. Disini terdapat batu alam berbentuk bulat besar besar, menyerupai kepala manusia dan di jadikan sebagai kuburan bagi masyarakat setempat.

Kambira. Ketika dahulu masyarakat di Tana Toraja belum mengenal agama, seorang yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan dikubur kedalam pohon dari jenis pohon Tarra. Pohon yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar 300 tahun yang lalu.

Londa dan Lemo. Merupakan tempat penguburan dinding berbatu dan terdapat patung-patung manusia menyerupai orang yang dikubur ditempat tersebut. Meski di dalam goa sangat banyak peti mati dan tulang belulang, uniknya saya tidak mencium bau sedikit pun. Didalam goa Londa terdapat sepasang mayat yang konon bunuh diri karena hubungannya tidak direstui oleh kedua orang tua.

Kete' Kesu. Merupakan kompleks perumahan adat Tana Toraja yang masih asli. Disana terdapat Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi).




Selamat Pagi, Tana Toraja !




25 Desember 2011
Mendarat juga di bandara Hasanuddin pukul 09.00 waktu setempat. Dari Makassar saya akan melakukan perjalanan panjang selama kurang lebih 10 jam melalui jalur darat sejauh 320 kilometer menuju Tana Toraja.
Perjalanan ke Toraja tidaklah mudah, jalannya berliku, tebing dan jurang di samping kiri-kanan, belum lagi cuaca yang tidak menentu, jika stamina tidak kuat, tak jarang akan membuat kepala serasa berputar-putar.
Sebelum memasuki Toraja, saya berhenti sejenak di sebuah rest area di daerah kabupaten Enrekang, desa Bambapuang. Disini ada begitu banyak kedai kopi dan restauran yang berbaris rapi di pinggir jalan, tak salah jika menjadi pilihan utama bagi mereka untuk berhenti sejenak, beristirahat dan kemudian kembali melanjutkan perjalanannya.
Di rest area ini saya juga disuguhkan pemandangan alam yang luar biasa indah. Tepat di depan saya, terdapat deretan bukit nan hijau yang sangat menyejukkan mata. Penduduk disini menyebutnya Gunung Nona, saya biarkan saja tanya akan asal-usul nama gunung ini melayang-layang dipikiran saya, ditemani secangkir kopi hangat, saya hanya perlu duduk manis sembari menghirup sejuknya udara pengunungan, membuat lelah pergi entah kemana seiring turunnya kabut dari atas bukit. Sungguh saya sangat menikmati kenyamanan ini.

Desa Balaba', Makale, Toraja
Menurut data dari Stephen Juan, seorang antropolog dari University of Sydney, ragam bahasa yang ada dunia ini berjumlah 6.800 bahasa, dan Indonesia memiliki 726 bahasa daerah yang digunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakatnya.
Bisa-bisanya dalam satu planet, satu negara, satu pulau, bahkan satu provinsi, yang hanya terpisah ratusan atau puluhan kilometer jauhnya, bahasa terkadang menjadi hambatan dalam berkomunikasi, dan inilah satu dari sekian banyak alasan yang membuat saya selalu bersemangat ketika melakukan perjalanan, bahasa dan aksen bicara begitu menarik perhatian dalam setiap tempat yang baru saya singgahi!
Seorang teman sesama backpacker asal Belgia telah singgah di beberapa negara hingga akhirnya waktu mempertemukan dia dengan saya di Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara yang sangat dingin hingga 4 derajat celcius, membuat kami tak mempedulikan bahwa bahasa yang kami gunakan berbeda satu sama lain. Dia menggunakan bahasa Inggris, sedangkan saya menggunakan bahasa Inggris, Indonesia, dicampur dengan senyum, perpaduan yang pas hingga akhirnya kami berteman akrab, mengajak dia ke Jogja dan menemani dia berkeliling kota seharian penuh.
Situasi yang sama saya rasakan ketika tiba di desa kakek, malam itu.

''Hahaa e.. hei.. ha ei.. ha.. hahaa e.. !!''
Kira-kira begitulah teriakkannya. Kemudian terdengar teriakkan balasan dari orang yang entah siapa dan tidak tahu posisi pastinya dimana. Ini adalah teriakkan khas orang Toraja yang tinggal di daerah pedesaan. Teriakkan ini dikenal dengan nama Meoli.
Beberapa orang saling berteriak untuk menyambut kerabat yang datang berkunjung. Suaranya begitu keras, dengan tekanan di awal dan pekikkan panjang di akhirnya. Sungguh sambutan yang unik dan sangat menghangatkan. *Don't try this at home ya, kalau nggak mau orang perumahan bangun dan marah-marah!*
Beberapa saat kemudian beberapa saudara datang menghampiri kami, saling berpelukkan dan mengucap rindu satu dengan yang lain. Kemudian kami berjalan beberapa kilometer lagi menuju rumah Kakek. Disini masih suasana pedesaan sekali, tidak ada penerangan jalan, jalanannya juga masih tanah, dengan banyak pohon bambu.
Rumah kakek berbentuk rumah panggung. Hanya ada dua kamar tidur, sisanya ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan dan terhubung lansung dengan dapur, berlantaikan kayu dan berdinding ayaman rotan, tak jarang angin akan berhembus masuk melalui celah-celahnya.
Bersama ayah, saya ikut duduk bersama saudara-saudara. Ditemani ballo' atau tuak kami bercerita mengakrabakan diri dengan satu bahasa yang sampai sekarang tidak saya kuasai. Bahasa Toraja! Ini aneh, saya tidak mengerti bahasa yang mereka ucapkan, namun saya seakan mengiyakan apa yang mereka katakan. Entah bagaimana prosesnya, tetapi ketika seorang dari kami tertawa, saya juga ikut tertawa, seakan tahu apa yang mereka tertawakan!
Mungkinkah ini yang disebut bahasa dunia oleh Paulo Coelho dalam The Alchemist? Untuk menguasai bahasa dunia hanya dibutuhkan satu hal, keberanian untuk memahami.

26 Desenber 2011
Good morning, rise and shine! Selamat pagi, Tana Toraja!
Tadi malam saya tiba di tempat ini ketika matahari sudah kembali ke peraduaanya. Jalan di desa tempat kakek tinggal tidak ada penerangan sama sekali, selain cahaya lampu dari rumah penduduk, itu pun sudah redup, mungkin karena  terlalu setia dengan waktu. Alhasil mata di dominasi oleh gelap.
Namun itulah malam, selalu menyembunyikan dan hanya bisa ditemukan oleh mereka yang bangun lebih awal. Sungguh, pagi disini terasa sangat istimewa! Sayup-sayup terdengar alunan musik bambu yang dibawakan oleh angin, bau tanah hasil guyuran hujan semalam, belum lagi aroma kandang babi yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah!
Kebetulan pagi ini, kami akan mengadakan acara Natal Keluarga, acara sederhana yang kami selenggarakan di sebuah halaman yang terletak dibawah rumah panggung. Setelah acara kebaktian selesai, kami melanjutkan acara makan bersama, acara yang paling saya tunggu-tunggu nih!
Berbagai macam makanan dan minuman khas Toraja tersaji, bagi saya yang paling spesial tentu Pa'piong dan Ballo'. Sudah lama banget nggak merasakan makanan ini! *Sikat Jhon!*
Oia, ada yang unik dari makanan dan minuman ini, keduanya menggunakan bambu sebagai tempat memasak dan menyajikan, alasannya karena bambu disini besar-besar dan tinggi, sehingga memiliki diameter yang besar pula.


Pa'piong itu makanan berupa daging babi. Cara memasaknya menggunakan bambu. Daging yang sudah dipotong-potong di campur dengan sayur sarre nako (begitu mereka menyebut sayur yang tidak saya ketahui namanya dalam bahasa Indonesia), ditambah darah babi, dan dimasukkan ke dalam bambu untuk kemudian dibakar hingga matang.
Sedangkan Ballo' adalah minuman dari fermentasi pohon nira. Minuman ini serupa dengan tuak Medan, hanya saja rasanya tidak terlalu kecut. Ballo' biasa disajikan didalam bambu, dan diminum ketika ada acara-acara tertentu. 


Dan acara keluarga hari ini kami meriahkan dengan bermain baratung! Baratung adalah permainan unik anak-anak di pedesaan. Permainan ini juga menggunakan bambu sebagai bahan utamanya. Beberapa ruas bambu dipotong, diberi lubang kecil pada bagian ujungnya sebagi tempat menaruh minyak tanah, kemudian dipanaskan dengan api terlebih dahulu.
Setelah bambu dipanaskan, arahkan api kecil ke dalam lubang untuk memberi efek suara. Duaaarrr.. !! Perang pun dimulai.. !!
Senang bisa kembali merasakan situasi semacam ini. Kembali dipertemukan dengan sanak family. Kembali diberi kesempatan untuk berbincang, bercanda, bermain, dan saling mengekspresikan kegembiraan. Situasi yang selalu memberi kenangan dan rindu.



Rabu, 28 November 2012

Semburan Kesejahteraan dari Semburan Minyak?



28 Juli 2011
Ini pokoknya serba mendadak. Bangun jam 12 siang, lihat hand phone dan ada sms dari teman yang mengajak saya jalan-jalan ke Semarang. Tanpa pikir panjang, saya terima.. Sah!
Kebetulan malam itu sedang berlangsung pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Turkmeniztan. Karena kami pencinta bola dan suporter sejati tim nasional Indonesia, sesampainya di Semarang kami memutuskan untuk menonton bolah terlebih dahulu, hehehe.
Suasana nonton bareng malam itu sangat ramai, terlebih ketika gol demi gol diciptakan oleh pemain Indonesia. Namun kegembiraan itu sempat tergantikan dengan ketegangan, tim tamu perlahan mulai menyusul. Bah, macam mana pula ini! Dari skor 4-1 sekarang kedudukan udah 4-3. Kalau Indonesia kalah, dengan jantan saya akan turun dari kursi ketua PSSI!!
Sepak bola, oh.. sepak bola. Sepertinya rakyat Indonesia memang sudah jatuh hati dengan olahraga yang satu itu. Nggak peduli tim nasional sering kalah dari pada sering menang, kesetiaan dalam mendukung tidak perlu diragukan lagi. Untunglah dalam pertandingan malam itu Indonesia berhasil menang.
Selesai menonton bola, kami menyempatkan untuk berkunjung ke Lawang Sewu. Masyarkat menyebut Lawang Sewu karena jumlah pintu yang sangat banyak. Pada kenyataannya pintu di gedung ini tidak mencapai seribu lho! Bangunan ini dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Awalnya bangunan ini difungsikan sebagai NIS (Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta milik Kolonial Belanda), namun bangunan ini sempat menjadi penjara bawah tanah oleh serdadu Jepang. Ratusan orang di penjara, di siksa, dan meninggal secara tragis.
Selain berkunjung ke Lawang Sewu, sesuatu yang wajib dilakukan saat berada di Semarang adalah mencicipi kulinernya. Salah satunya adalah angkringan pagi, angkringan khas kota Semarang yang buka mulai pukul 11 malam. Makanannya bermacama-macam dengan harga yang relatif murah. Ketika makan dan ngobrol-ngobrol, tiba-tiba kembali muncul rencana jalan-jalan yang implisit, dadakan, tanpa rencana sebelumnya! Kami akan melanjutkan perjalanan malam ini ke kota minyak, Cepu. Yes! Berangkat..

29 Juli 2011
Blok Cepu merupakan salah satu ladang minyak tertua di dunia. Sebagian besar sumur minyak disana telah dioperasikan sebelum Perang Dunia II. Di cepu kami bertemu dengan seorang teman yang sangat baik, dia adalah Bastian, biasa disapa mas Bas. Dari dialah kami berkesempatan untuk melihat-lihat lokasi sumur tua di desa Ledok dan desa Wonocolo.
Cuaca di Cepu puanas sekalee.. Jogja kalah panas! Tapi teriknya matahari saat itu nggak bisa ngalahin semangat dan atusias kami. Bagaimana tidak antusias, sudah dua semester saya menjalani kuliah studi Perminyakan dengan senang hati, gembira, dan rajin (pernyataan yang terakhir boleh dihilangkan). Tapi saya pribadi kok merasa belum paham betul tentang ilmu Perminyakan ya, maka dari itu saya berniat mengikuti Field Trip yang sering diadakan oleh salah satu organisasi di kampus. Dari pagi udah nunggu, tapi tetap aja nggak pernah dapat tempat. Sialnya kejadian ini menimpa saya berkali-kali! Karenanya ketika ada kesempatan ke Cepu dan ada tawaran untuk melihat langsung sumur minyak, saya senang banget, jadi selain jalan-jalan saya juga bisa menambah pengetahuan tentang ilmu yang sedang saya tekuni sekarang. Yuhu..
Namanya Urok Rakeri, senang dipanggil Brian. Selera humornya tinggi, kulit hitam manis, wajah eksotis, dan senyumnya meringis. Brian adalah teman mas Bas saat duduk di bangku SMA. Karena tuntutan ekonomi, dia tidak melanjutkan kuliah, dan lebih memilih bekerja di salah satu sumur minyak di desa Ledok.
Ternyata di desa Ledok terdapat sumur minyak pertama yang di bor pada tahun 1893 lho! Sebagian besar sumur minyak di desa Ledok itu dikelola secara konvensional oleh masyarakat setempat. Sumur disana juga sudah tua dan tidak terlalu mengutungkan. Produksi air lebih banyak daripada minyak! Hehehe.
Sepengetahuan saya nih ya, kalau ke lapangan minyak itu kan harus serba safety. Pakai celana dan pakaian lapangan, sepatu lapangan, google, helmet, nah ini.. dengan hanya memakai kaos oblong, sandal, dan jauh dari kesan safety kami diperbolehkan mendekat ke sumur minyak milik mas Usrok. Bahkan mas Usrok sendiri tak beralas kaki dan.. merokok! Hahaha kacau!
Mengelola sumur minyak disana itu seakan bermain Judi. Satu sumur tua dikelola oleh minimal 10 orang dengan biaya operasional yang sangat besar. Padahal produksi minyak disana tidak menentu, koperasi desa milik Pertamina pun hanya membeli minyak seharga 850 rupiah per satu liter!
Coba kita kalkulasi, misal satu sumur memproduksi 5000 liter. 850 rupiah x 5.000 liter = 4.250.000 rupiah.
Kemudian hasil penjualan tersebut akan dibagai ke 10 orang, jadi pendapatan per orangnya = ? Oia, belum lagi uang yang harus dikeluarkan untuk biaya operasional. Dih! Horornya!
Setelah menyalakan flare, yang lebih pantas dibilang obor, kami meninggalkan sumur milik mas Usrok menuju desa Wonocolo. Sama seperti di desa Ledok. Di desa Wonocolo juga terdapat puluhan sumur tua yang masih dikelola secara konvesional oleh penduduk setempat.
Tapi di desa Wonocolo itu lebih sangar! Jadi begini, di desa Wonocolo itu terdapat penyulingan dan ternyata mereka tidak mau menjual semua hasilnya ke koperasi. Solar-solar dijual secara diam-diam ke penampung ilegal atau langsung ke sopir truk yang melintasi jalur Pantura, alasannya, karena mereka membeli lebih mahal dibanding harga beli di koperasi. Tentu saja perbuatan itu melanggar peraturan. Jika tertangkap, teguran hingga denda jutaan rupiah pun memanti.
Lagi-lagi hanya bisa berharap. Semoga pemerintah tidak menutup mata dan serius memperhatikan masalah ini. Bukankah dulu sumur-sumur minyak ini begitu superior? Menghasilkan ratusan barel tiap harinya. Menghasilkan devisa jutaan rupiah bagi Negara. Lantas ketika semuanya telah di eksploitasi dan sekarang tidak mengntungkan lagi apakah semudah itu ditinggalkan dan dilupakan ?!
Hanya sekedar angan ketika masyarakat Cepu berharap mendapatkan 'semburan' kesejahteraan dari semburan minyak. Tidak ada tanda-tanda kesejahteraan menyelimuti masyarakat Cepu. Pendapatan perkapita kecil, sarana-prasarana umum memprihatinkan, dan pengangguran pun merajalela di Kota Minyak ini.


Senin, 15 Oktober 2012

Magelang : Di malam hari menuju pagi




Hi, traveler! Saya kembali lagi dalam sebuah perjalanan yang kali ini random banget. Impulsif, tanpa rencana, serba mendadak, tanpa berpikir panjang dan sekedar dorongan untuk mengekspresikan keinginan.

Sepertinya saya itu memang di takdirkan sebagai pejalan sejati *Ngok! Bisa jadi, dikarenakan waktu kecil saya sering diajak jalan-jalan atau mungkin saya terlahir ketika orang tua saya sedang jalan-jalan! Hahaha, entahlah. Pada intinya saya suka banget jalan-jalan!

Sebelum jalan-jalan saya memang terbiasa untuk terlebih dahulu mencari beberapa informasi tentang suatu tempat yang akan saya kunjungi, mislanya mencari tahu cara menuju lokasi dan membaca rekomendasi dari mereka yang telah mengetahui. Tapi bukan berarti hal tersebut dijadikan patokan pasti, kondisi dan situasi mengharuskan seorang traveler untuk fleksibel. Traveler itu harus Liar dan Bebas, bung !!


13 Oktober 2012

Di malam hari itu saya bersama teman-teman hendak melihat Festival Ramayana di Pelataran Terbuka Candi Prambanan. Banyak info dari dunia maya kalau Fetival Ramayana gratis untuk umum. Mendengar kabar tersebut, mental gratisan kami langsung meletup-letup. Buat saya pribadi, ini adalah kesempatan yang nggak boleh dilewatkan. Selama ini, saya juga nggak pernah melihat pentas sendratari Ramayana !!

Karena terlanjur semangat, kami tiba di lokasi satu jam sebelum pertunjukan dimulai. Nah ini, saat menuju lokasi pertunjukan perasaan tiba-tiba jadi nggak enak. Berjalan beberapa langkah, dengan jelas saya melihat dua layar lebar terpasang di halaman luar pelantaran candi dan ticket box dalam keadaan terbuka! Ciat.. ciat.. ciat.. ternyata yang dimaksud gratis itu cuma sebatas nonton dari layar lebar! Kalau mau lihat secara langsung ya tetap harus bayar! Dan banyak juga pengunjung yang terkena zonk seperti kami, hahaha.

Harga tiket termurah untuk pentas sendratari Ramayana sebesar Rp 150.000 . Lumayan mahal sih, tapi saya yakin harga segitu sepadan dengan eloknya pertunjukkan. Tapi ya mau gimana lagi, saat itu kami nggk membawa banyak uang, semoga di lain waktu ada kesempatan untuk melihat.

Karena Senin masih lama.. Kami sepakat untuk pergi meninggalkan Candi Prambanan dan berangkat menuju Borobudur! Banting haluan, disana ada pembukaan kampanye energi terbarukan dan ada Payung Teduh! Musik Payung Teduh itu sungguh meneduhkan hati ya, pas banget buat mereka yang sedang putus cinta. *Sial. Curhat! Kemudian sayup-sayup terdengar alunan dan lirik lagu, Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan. 


Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya

Lalu mataku merasa malu
semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya

Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya


Berbahagialah bagi siapa saja yang kuliah di bidang studi Teknik Perminyakan UPN. Disanalah manusia-manusia dari berbagai kelamin dan daerah berkumpul. Di Magelang kami bertemu dengan Purbo dan Robi. *Robi?! Kemudian terbanyang komedian Tarzan.

Saya baru menyadari kalau teman saya yang bernama Robi itu sejenis Mafia region kecamatan Borobodur. Mau masuk ke Candi Borobudur gratis, seluruh satpam Candi Borobudur dan sekitarnya kenal sama dia, orang-orang dari berbagai profesi juga kenal dia. Semakin dekat dengan tempat tinggalnya prosentase makhluk hidup yang kenal dia mendakati 99%. Ini serius, coba saja!

Setelah melihat penampilan Payung Teduh di taman Lambini. Obrolan singkat dan tak pikir panjang, membuat kami sepakat menerima tawaran Robi untuk menginap semalam di Magelang supaya kesesokan harinya dapat melihat Sunrise di Punthuk Setembu dan keindahan alam di Desa Bandongan.

Payung Teduh


14 Oktober 2012

Menuju pagi, di kawasan wisata alam Puthuk Setembu kita dapat melihat matahari yang muncul diantara Gunung Merapi dan Merbabu. Bersamaan dengan itu, kabut perlahan turun dan Candi Borobudur pun akan terlihat! Sedangkan di Badongan terdapat hamparan sawah luas di perbukitan, dimana kita disuguhkan pemandanga apik nan indah sistem terasering. Menulusuri jalan setapak menuju atas bukit, kita akan menemukan Candi Hindhu Selogriyo dilengkapi dengan sumber mata air. Sungguh, istimewa sekali!

Borobudur Nirwana Sunrise - Puthuk Sitembu

Percayalah, orang lokal itu informan terbaik dibanding mesin pencari informasi sekalipun. Dari orang lokalah kita mengetahui tempat terbaik yang belum terekspos. Dari orang lokalah kita saling berbicang untuk memperkaya pengetahuan. Dari orang lokalah kita menjadi Pejalan anti mainstream! Hahaha.


Persawahan di lereng bukit Giyanti, di bawahnya tereletak Candi Selogriyo


Jumat, 21 September 2012

Karimun Jawa : Pesona Bahari di Utara Pulau Jawa



''Karena dulu pulau ini kremut-kremut alias terlihat samar-samar makanya pulau ini dinamakan Karimun.'' Sontak kami semua tertawa mendegar celotehannya.

Namanya Rizal, dia adalah pemuda asli Pulau Karimun Jawa. Berkulit hitam, berbadan kecil namun berotot, tipikal penduduk pesisir pantai. Seperti penduduk pulau Karimun Jawa pada umumnya, mas Rizal adalah sosok yang sangat bersahabat dengan para wisatawan.

Masih teringat jelas dalam benak saya, bagaimana mas Rizal ikut membantu kami mencari wisatawan yang tidak terikat dengan travel agen. Bagi backpacker seperti kami, harga sewa kapal untuk mengelilingi beberapa pulau kecil di sekitar Pulau Karimun Jawa memang cukup mahal, cara satu-satunya kami harus mencari wisatawan lain untuk bergabung dengan kami, sehingga harga sewa kapal dapat dibagi rata. Karena bantuan mas Rizal akhirnya kami dapat melakukan wisata bahari di Perairan Karimun Jawa, untuk kemudian berbagi cerita perjalanan ini...


Ambilah kenangan dengan fotomu dan jangan mengambil sesuatu di alam sebagai kenanganmu. - Taman Nasional Karimun Jawa


Kami memulai perjalanan dari Pelabuhan Kartini Jepara. Dengan menaiki kapal ferry KM Muria, kami akan menempuh perjalanan selama kurang lebih enam jam menuju Taman Nasional Karimun Jawa.

Ini kali pertama saya kembali naik kapal setelah 17 tahun lamanya, terakhir saya naik kapal saat berumur 4 bulan. Jadi, bisa dibilang kalau saya itu belum benar-benar merasakan bagaimana sih rasanya naik kapal.

Setelah memasuki kapal saya bergegas menuju bagian atas dek kapal. Kenapa saya ingin sekali berada di dek kapal? Karena saya terinspirasi Film Titanic, pasti sudah tahu kan adegan ketika Leonardo dan Kate Winslet bermesraan di atas dek kapal? Nah, saya itu berharap bisa melakukan hal serupa, so sweetnya... *Lirik teman perjalanan *Cowok semua!!

Saya pikir duduk di dek kapal itu nyaman. Sial, Ternyata duduk di dek kapal itu semacam zonk! Panasnya... Sengatan matahari begitu terasa di ubun-ubun, membuat kepala terasa pusing dan perut pun bergejolak, belum lagi laju kapal yang sangat pelan. 

Tahu nggak?! Sebenarnya jarak dari pelabuhan Kartini ke Pelabuhan Taman Nasional Karimun Jawa itu hanya sejauh 90 kilometer lho, dekatkan? Tapi kenapa kapal ini berjalan pelan sekali. Bisa dibilang laju saya mengayuh sepeda roda tiga lebih cepat dibanding laju kapal ini, pantas saja waktu tempuhnya lama sekali. Huufft

Beruntung saya bersama dengan teman-teman yang sangat baik. Sepanjang perjalanan yang menguras tenaga dan menguras isi dalam perut, mereka begitu perhatian dengan saya, mengambilkan minum, memijat dan senantiasa mengingatkan saya agar tidak menjatuhkan diri ke laut. *Kemudian terharu *Berpelukan.


14.30, Selamat Datang
Akhirnya kami sampai juga di Taman Nasional Karimun Jawa. Setelah turun dari kapal banyak orang-orang yang mengerubuti kami, ditarik ke kanan, ke kiri, ke depan, ke belakang.. di lempar ke atas, di banting.. dan kami pun bergegas lari meninggalkan mereka. Kabur!!

Mereka itu adalah orang-orang yang menyewakan penginapan dan menawarkan jasa transportasi menuju penginapan. Yaelah.. Pulau Karimun Jawa itu seluas apa sih?! Pasti tidak lebih luas dari halaman rumah saya. Dari pelabuhan kedatangan ke pelabuhan nelayan aja nggak jauh-jauh amat, lebih baik jalan kaki lah. *Kemudian kaki pun keram.


Setelah berjalan beberapa meter dari pelabuhan Taman Nasional Karimun Jawa, deretan rumah penduduk mulai terlihat. Penginapan disini menggunakan sistem home stay, jadi warga menyediakan kamarnya untuk disewa per malam. Jangan terburu-buru dalam memilih, sesuaikan dengan kantong dan fasilitas yang didapat. Kami mendapat penginapan dengan tarif 15.000 rupiah per malam dengan fasilitas tambahan yaitu diesel. Murahkan? Sekedar informasi, Karimun Jawa itu menggunakan PLTD dan hanya menyala dari pukul 17.00 - 05.00 saja.




Suatu Malam di Karimun Jawa
Duar.. Duar.. Duer.. Suara petasan terdengar tepat di sebelah kami. Wah ini nih, ngajak perang nih. Kami pun segera membeli petasan dan membalas serangan anak-anak itu. ''Fire in the hole !'' Duaaaar..


Kata mereka alun-alun ini selalu ramai, apalagi malam minggu seperti ini. Mulai dari anak-anak hingga orang tua senang berkumpul di tempat ini. Berbagai macam kegiatan mereka lakukan, bermain, berkumpul dengan keluarga, menjual aneka makanan dan minuman, atau menonton film India di Balai Desa. Alun-alun ini memang menjadi tempat terbaik untuk merayakan malam.



Pesona Bahari Karimun Jawa
Pagi hari ini kami akan berwisata bahari, menggelingi beberapa pulau kecil di sekitar pulau Karimun Jawa dan snorkeling untuk melihat keindahan bawah lautnya. Berangkat...


Wow, ternyata di Pulau Menjangan Besar kita berkesempatan berenang dengan ikan hiu. Awalnya takut juga berenang di dalam kolam penangkaran ini. Bayangin aja, di dalam kolam penangkaran yang lumayan luas terdapat puluhan Blacktip Reef Shark. Tapi setelah di yakinkan oleh pemiliknya, saya memberanikan diri untuk menyebur ke dalam. Ternyata hiunya cuek-cuek saja ketika saya berenang, saya pun dengan santainya berenang kesana kemari, yuhuu... hingga akhirnya, ''Mas, kakinya berdarah ya?!'' ''Hah!! Serius?!'' Tolongggg mak!!! *Jeng jeng.

Ah sudahlah, saya tak perlu menceritakan ke kalian bagaimana perjuangan saya melawan maut, pokoknya kalian harus coba sendiri! Rasakan sensasinya.


Perairan di Karimun Jawa sungguh menawarkan keindahan alam bawah laut yang luar biasa indah. Ikan, ubur-ubur dan terumbu karang seakan mengajak kita untuk menari-nari bersamanya.

Pulau-pulau kecil di sekitarnya pun terawat dengan baik, pasir putih dengan perairan yang dangkal menjadi tempat terbaik untuk bermain air atau sekedar berleha-leha. Selain itu keramahan penduduk di pulau Karimun Jawa sungguh memberikan kenyamanan bagi siapa saja yang hendak berkunjung.


Dan malam terakhir di pulau Karimun Jawa kami tutup dengan membakar dan menyatap ikan yang kami beli di Tempat Pelelangan Ikan. Ditemani obrolan dan canda dari mas Rizal, kami mengungkapkan harapan agar dilain waktu dapat kembali lagi ke Pulau ini.