Kamis, 14 Februari 2013

Garut : Perhiasan Alam di Tanah Sunda






Pikir saya, pasti akan dapat tempat duduk. Terlihat dari kejauhan angkot sepi oleh penumpang, dengan santainya saya berjalan mendekati arah angkot hingga tiba-tiba... Gruduk !! Puluhan anak kecil berlarian ke arah saya, ada yang tidak sengaja menyenggol, ada juga yang sengaja menghindari saya, mereka semua berebut naik, dan angkot yang tadinya sepi langsung penuh dalam sekejap !!

Begitulah pagi disini, ketika anak-anak akan berangkat ke sekolah, angkot-angkot di Garut berubah menjadi mobil antar jemput sekolah dadakan. Jadi jangan pernah berharap bisa duduk di dalam angkot tanpa harus berdesak-desakan. Tapi beda cerita ketika jam masuk sekolah telah lewat, angkot yang tadinya ramai oleh anak sekolahan digantikan oleh penumpang dari berbagai macam usia yang selalu di dominasi oleh perempuan !

Awalnya saya tidak merasa aneh dengan hal ini, namun karena selama di Garut keseringan naik angkot, saya mulai menyadari ada sesuatu yang unik disini. Tidak hanya sekali dua kali saya selalu berada diantara penumpang perempuan, jarang saya temui penumpang pria naik angkot, apalagi anak mudanya, hampir nggak pernah. Nah, kata mas Dede kejadian seperti ini sudah lumrah di Garut, ''Laki-laki jarang naik angkot, gengsi, kalau bisa ya naik motor, yang knalpotnya berisik itu.'' Katanya.

Mungkin itu salah satu alasannya, biarlah, seenggaknya saya nyaman banget dengan kondisi ini. Udara di Garut yang sejuk, lalu lintas yang nggak terlalu padat, dan yang terpenting saya selalu berada di antara penumpang cantik selama naik angkot. Horas bah !!

Selain penumpang yang cantik-cantik, armada angkot disini juga banyak dan menjangkau hampir seluruh tempat wisata. Tujuan pertama saya di Garut adalah berkunjung ke Situ Bagendit. Sebuah danau dengan legendanya yang tersohor itu, begini kisahnya.. 


Alkisah hiduplah seorang Nyai yang kaya raya. Punya banyak uang, banyak mobil, gadget holic, sophaholic, rambut belah tengah, followernya pun buanyak, tajir dan terkenal deh pokoknya. Hingga suatu ketika datanglah seorang pengemis kerumahnya.

''Nyai, bagi duit dong.''
''Muke gile, duit dari hongkong?!''
''Endit amat dah, gopek doang, belum makan nih seharian.''
''Nggak ada duit, pergi! pergi!''
''Ah yang boneng? Yaudah deh, ijin tancepin lidi di halaman rumah Nyai ya? Ini lidi kalau dicabut bakal keluar air bah lho, cobain deh.''

Dan sebatang lidi tertancap di halaman rumah Nyai. Karena penasaran dengan perkataan pengemis, si Nyai yang endit itu mencoba mencabut lidi tersebut. Setelah lidi tercabut, tiba-tiba air keluar dari tanah, semakin lama semakin deras, kemudian mulai membanjiri halaman rumah dan ladang gandum, hingga jadilah Coco Cruch !! Oke sip, itulah asal-usul Coco Cruch versi Garut.

Sehabis dari Situ Bagendit saya menuju ke Situ Cangkuang. Tempat wisata ini cukup terkenal karena diseberang danau terdapat sebuah kampung adat yang bernama Kampung Pulo. Diberi nama Kampung Pulo karena, konon dulunya kampung ini memang berada di tengah danau layaknya sebuah pulau, tidak terhubung daratan seperti sekarang. 


Kampung ini unik, karena hanya berdiri tujuh bangunan saja dan tidak boleh di tambah. 6 rumah dan 1 masjid, yang melambangkan tujuh anak (enam perempuan dan satu pria) dari Arif Muhammad. Beliau adalah penyebar agama Islam di Garut dan panglima perang kerajaan Mataram. Sayang, akses menuju ke kampung Pulo nggak bisa dibilang bagus, jalananya rusak !!

Tipikal tempat wisata di Indonesia kan? Transportasi yang sulit atau ala kadarnya, jalanan rusak dan informasi bagi wisatawan yang kurang memadai. Padahal potensi wisata di Garut nggak bisa di pandang sebelah mata. Suasananya yang masih alami, kebudayaan yang masih terjaga, tempat wisata alam yang sangat indah: mulai dari danau, kawah, pantai hingga pegunungan, belum lagi masyarakatnya yang ramah. Sayang banget deh kalau nggak dikembangkan dan dijaga !!

Papandayan misalnya, jangan bayangin jalanan kesana kayak jalanan pegunungan yang ada di gambar anak-anak TK. Sepanjang jalan aspalnya sudah belobang semua dan besar-besar banget !! Bisa kali tuh lobang buat ternak lele !! Huh !!

Waktu itu saya ke papandayan bersama mas Herry, kakak mas Dede, kami sampai nggak tega lihat motor yang kami tumpangi menerjang kejamnya jalanan. Untunglah saat itu, ada seseorang yang berbaik hati mengantar saya ke pintu masuk objek wisata. Dengan licah dan gesit motor jenis trail ini melaju, meski akhirnya pantat saya sakit dibuatnya. Bagaimana nggak sakit, motor trail ini digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan, sehingga jok bagian belakang dilepas hingga tersisa besinya saja, pantat terasa nyut-nyutan !!

Dan papandayan itu keren banget !!! Salah satu sisi gunung berwana hijau karena ditumbuhi berbagai macam tumbuhan termasuk bunga edelweiss, sisi lainnya merupakan deretan batuan yang enggak ditumbuhi tanaman, terdapat kawah yang senantiasa menyemburkan uap, dan aliran air yang seolah-olah membelah pegunungan ini. Serius, cantik banget !




Lesson from the road :

  • Saat musim kemarau pada malam hari suhu di Garut bisa mencapai 10 derajat celcius. 
  • Saat musim hujan, pagi hari adalah waktu yang tepat untuk jalan-jalan, karena biasanya Garut akan di guyur hujan setelah jam 12 siang. 
  • Jika tidak berencana mendirikan tenda di gunung Papandayan, datanglah ketika pagi dan pulang sebelum jam 12 siang, karena kabut akan turun membatasi jarak pandang. 
  • Siapkan uang seribuan, karena sangat mempermudah ketika naik angkot.

How to get there : 

  • Terminal di Garut : Terminal Guntur.

Galeri Foto :


SITU BAGENDIT

 



 SITU CANGKUANG DAN KAMPUNG PULO
 






 GUNUNG PAPANDAYAN










Galeri Video :




Baca Juga : Hi, Garut !

Foto yang baik adalah ketika suatu saat kembali melihat, lantas terbawa ingatan akan kenangan di dalamnya. - Hi Travelers !



Rabu, 13 Februari 2013

Hi, Garut !




''Lurus kesana, nanti belok kiri, ke kanan, terus naik terus keatas.''

''Oke kang, terimakasih.'' Balas saya, sembari turun dari angkot dan memberikan uang tiga ribu rupiah. 

Beberapa saat kemudian, satu.. dua.. tiga.. empat orang mengerubungi saya, dengan alis yang di naik-turunkan dan senyum yang sangat menggelikan, mereka senada menawarkan kamar plus wanita di dalamnya. ''Kamarnya 30 ribu per 3 jam cep. Ceweknya cantik.'' Kata salah seorang dari mereka. Dengan menyatukan kedua tangan tanda menolak saya pun bergegas meninggalkan mereka. Namun, semakin melangkah ke arah yang dimaksud supir angkot, semakin banyak pula saya menemukan hotel kelas melati, germo, dan beberapa wanita cantik berdandan menor duduk di depan hotel-hotel itu.

Ketika saya duduk di warung yang terletak di sudut lorong, tiba-tiba saya melihat ibu-ibu muda menggendong anaknya duduk di samping saya. Glek !! Ibu itu sedang menyusui tanpa menutupi bagian itunya, jelas banget kelihatan itunya !! huaa.. seger !! Eh.. hihihi.

''Mau kemana a?'' kata ibu muda itu.

''Sebenarnya, mau ke pemandian air panas, tapi disini nggak ada yang bentuk kolam ya? Yang nggak di dalam ruangan gitu.''

''Ada kok, masih jalan lagi ke atas. Saya panggilkan teman saya dulu ya.''

Dan ibu muda tadi memanggil temannya, dan kemudian meninggalkan kami berdua untuk saling berbincang. Betapa beruntungnya saya saat itu, dari sebuah obrolan singkat, pemuda itu menawarkan agar saya menginap di rumahnya saja. 



 ''Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Lima.. Enam.. Tujuh, eh enam. Anak ke enam dari tujuh bersaudara.''Katanya sembari tertawa.



Namanya mas Dede, umurnya masih 18 tahun, dan dia sudah tidak lagi melanjutkan sekolah sejak lulus dari bangku SMP. Terpancar dari kedua matanya, keinginan untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, namun sayang, keadaan ekonomi yang membuat dia harus berhenti. Kedua orang tuanya tidak mempunyai pekerjaan tetap, harus menghidupi tujuh anak, dan sembilan cucu, karenanya mas Dede lebih memilih bekerja agar saudara-saudaranya bisa tetap bersekolah.

Mas Dede bekerja sebagai kuli bangunan, dimana ada proyek pasti ada dia. Beruntung saat ini di Garut akan dibangun banyak hotel-hotel berbintang, tapi entah bagaimana setelah tidak ada lagi pembangunan. "Saya harus bersemangat dan yakin kalau suatu saat hidup saya akan jauh lebih baik. Dan saya selalu bahagia ketika memberikan gaji saya kepada ibu. Senang sekali rasanya.'' Kemudian mas Dede mengajak saya ke atas atap rumah, kami pun kembali berbagi cerita, kisahnya memberi arti akan semangat hiudp yang sebenarnya, meski terkadang kenyataan tak selalu sama dengan harapan.

Menjelang malam, setelah saya mandi di sebuah kolam pemandian air panas, saya bertemu dengan kedua orang tua mas Dede. Mereka sangat ramah dan baik kepada saya, membuat saya seperti berada di rumah sendiri. Belum lagi cucu bapak Lilik dan ibu Nunung yang sangat banyak dan masih kecil-kecil, menjadikan malam pertama di Garut terasa begitu hangat. 


Perkampungan ini terletak di kaki gunung di daerah Cipanas, ketika musim kemarau suhunya bisa mencapai 10 derajat celcius. Seperti biasa saya selalu mudah bangun pagi dari pada harus tidur laut malam, pagi memberikan banyak kesempatan untuk melihat yang sebelumnya disembunyikan oleh malam. Melihat indahnya pegunungan yang mengapit desa ini, melihat aktifitas penduduk desa, mulai dari mencuci baju, memasak, anak-anak yang berangkat ke sekolah, dan.. mandi masal !!

Sempat terlintas di pikiran saya untuk tidak mandi di kamar mandi umum ini. Sebuah kamar mandi yang berukuran dua kali lima meter dengan 6 pancuran air panas yang saling berdekatan dan satu buah kamar mandi ala kadarnya untuk buang air besar. Kamar mandi ini digunakan oleh hampir seluruh penduduk kampung. Dalam suatu waktu rata-rata ada 11 laki-laki, 6 orang mandi tanpa busana, dan sisanya menunggu beberapa centi meter saja di belakang yang mandi. Huaaa malunya !! 

Mending kalau mandi di sungai, kita bisa mengambil jarak ketika mandi, nah ini.. jarak antar pancuran kira-kira cuma 10 cm! Kamar mandi yang digunakan untuk buang air besar juga cuma satu. Pintunya setinggi 50 cm, kalau mau tahu ada yang pakai atau enggak dengan cara menengok ke dalam. Tempat pembuangannya bukan dari closet pada umumnya, bentuknya memanjang dengan lebar 10 cm, harus pas ngarahinnya! 

Timba? Nggak ada timba disana. Sampai tiga kali saya berusaha menampung air di kedua tangan, jarak pancuran dengan tempat saya beol cukup jauh sehingga air selalu lolos dari celah-celah tangan sebelum sampai ke pantat. Putus asa, saya pun melangkah ke arah pancuran, menempelkan pantat saya ke air mancur itu dan.. Sial !!! Panas !!! Burit tersiram air mendidih !!! Dan teriakkan kepanasan menjadi bahan tertawaan orang-orang. :)
 



Ya! Tidak ada alasan bagi saya untuk menolak, mengeluh, atau marah dengan kondisi ini. Mereka saja bisa menerima, apalagi saya yang datang sebagai tamu. Nikmati saja, itu kuncinya. 

Sama halnya ketika saya bermain dengan cucu pak Lilik, sebagian besar anak-anak di kampung ini tidak cakap berbahasa Indonesia sebelum duduk di bangku kelas 3 SD. Cucu pak Lilik yang masih kecil-kecil selalu menyambut saya ketika pulang dari jalan-jalan, mereka sangat bersemangat mengajak saya bermain kelereng atau menceritakan kejadian unik di sekolah, saking semangatnya mereka tak memperdulikan bahwa bahasa sunda yang mereka pakai sama sekali tak saya pahami, alhasil saya hanya bisa mengiyakan, kadang tepat, namun kadang juga tidak tepat.

Pernah suatu ketika saya sedang berkumpul dengan seluruh keluarga pak Lilik, tiba-tiba cucunya menghampiri dan mengajak saya berenang, saya pun mengiyakan, mereka senang dan berlari keluar rumah, tetapi saya sama sekali tidak beranjak dari ruang tamu. Beberapa saat kemudian mereka kembali dan marah-marah khas anak kecil kepada saya. Kemudian tawa pun pecah diantara kami.

Malamnya ketika hendak tidur, saya kembali dikejutkan dengan kejadian yang tak pernah saya duga sebelumnya. Ternyata Pak Lilik adalah orang hebat di kampung ini, beliau sering kedatangan tamu untuk meminta kesembuhan, kesuksesan, kelancaran dalam berbisnis dan sebagainya. Nah, saat itu datang seorang pemuda yang sakit karena ilmu hitam yang dimilikinya, pak Lilik pun memanjatkan doa-doa dan membaca ayat-ayat, yang bikin heboh mereka berdua sama-sama kesurupan, syukurlah pak Lilik berhasil menyembuhkan anak muda tersebut. Keren !






Opa dan Doni (Saudara Mas Dede)
Tidak ada alasan bagi saya untuk menolak, mengeluh, atau marah dengan kondisi ini. Mereka saja menerima, apalagi saya yang datang sebagai tamu. - Hi Travelers !