Kamis, 31 Mei 2012

Penang : Pearl Of The Orient





George Town merupakan sebuah kota di Penang yang bisa dibilang sangat populer di kalangan wisatawan. Kawasan ini seperti Bu Vien di Ho Chi Minh City, Khaosan Road di Thailand, Kuta di Bali, Sosrowijayan dan Prawirotaman di Jogja. Bedanya, George Town bukan seruas jalan tetapi merupakan kawasan luas dimana segala macam aneka dan rupa ada disini, seperti hotel, cafe, toko kelontong, warnet, dan lain-lain.

Saya pribadi bisa merasakan bagaimana berbagai macam suku bangsa, agama dan budaya hidup harmonis disini. Bangunan-bangunan tua khas colonial Inggris masih terjaga dan terawat hingga sekarang. Tidak heran jika George Town ditetapkan sebagai World Heritage Site oleh UNESCO.

Sebagian besar penduduk Penang bersal dari bangsa Melayu dan China. Tetapi banyak juga yang berasal dari India, Bangladesh, Burma, dan Indonesia. Di Penang Orang Indonesia memang banyak, mereka datang untuk ikut meramaikan denyut nadi perekonomian, diantaranya bekerja sebagai TKI, Tenaga Kerja Indonesia. H u f t!

Namun, orang Indonesia yang ada di Penang itu nggak semuanya bekerja menjadi TKI, ada juga yang berwirausaha hingga menetap disini, kemudian ada juga yang melancong ke Penang untuk berwisata dan berobat, dari informasi yang saya dapat, untuk dua hal itu orang Medan-lah yang paling banyak. Mungkin, karena jarak antar kedua kota yang tidak terlalu jauh. Kurang lebih sekitar 262 kilometer, 25 menit waktu tempuh jika menggunakan pesawat udara.

Uniknya, selama di Penang saya itu selalu dikira orang Batak oleh penduduk lokal. Bukan Medan atau Sumatera lho, penduduk Penang lebih tahu Batak. 

Ketika memberi tahu asal saya dari Indonesia, penjual souvenir di Kek Lok Si Temple, bertanya. 

''Batak ya ?''


Mahasiswa di Bukit Bendera yang sepertinya sudah mengetahui saya berasal dari Indonesia, tiba-tiba bertanya. 

''Indonesia, dari Batak ?''


Penumpang Free CAT.

''Batak ya ?''

''Bukan, saya dari Toraja, Sulawesi.''

''Itu di Indonesia Juga ?''

''Haduh! Ya iya dong! Tentanggaan sama Batak!''


Bertemu orang asli suku Batak tetap juga ditanya.

''Batak ya ?''

''Bukan buk !''

''Yaudah, tolong fotoin kami dong.'' Rrrr!


Okelah, nggak apa dikira orang Batak, yang penting Indonesia. Daripada saat berada di Vietnam, Cambodia, dan Thailand, penduduk lokal-nya malah selalu menyimpulkan kalau saya ini wisatawan dari Malaysia. Ada juga yang mengangguk paham, kirain tahu Indonesia, eh, setelah mengangguk kok malah negara India yang keluar dari mulut-nya.

''Acha acha acha. Heh! En-do-ne-sah, bukan India !''


Karena, sering dikira orang Malaysia, saya sampai bilang ke mereka kalau saya itu nggak tahu dimana itu Malaysia.

''Where is Malaysia ?!''



Pusing-pusing di Penang ;

Perkenalkan, nama Free CAT (Central Area Transit) Bus, orang Malaysia menyebutnnya 'Bus Percuma'hehehe! Ini kelebihan lain yang dimiliki Penang, bus keliling kota yang beroperasi dari jam 06.00 - 21.00. Berhenti di 19 Pemberhentian termasuk Komtar (Terminal bus dalam kota), Jetty Terminal Bus, dan spot-spot menarik. Namun, rasa-rasanya armada Bus Percuma ini tidak banyak, jarak kedatangan antara satu bus dengan bus lainnya lumayan lama. Jadi, kalau nggak sabar menunggu, gunakan Rapid Penang saja, bus ini beroperasi sampai jam 23.00, kalau masih di dalam kawasan George Town rata-rata tarif hanya RM 1.40.


Bus Percuma

Tentu hanya beberapa saja pemberhentian Free CAT Bus yang merupakan spot-spot menarik, diantaranya: Pemberhentian No.12 Chowrasta Market, merupakan pusat souvenir. Pemberhentian No.15 Turun dan berjalan ria-lah. Saat mencoba menyesatkan diri, saya menemukan Masjid Kapitan Keling, Sri Mahamariaman Temple, Klenteng Kuan Yin, dan Gereja St. George.


Berbeda tapi Satu - Harmonis


Berjalan lagi dan saya menemukan lapangan luas semacam alun-alun kota, di sekitar alun-alun itu terdapat bangunan megah berwarna serba putih bertuliskan 'Majelis Perbandaran Pulau Pinang'. Oia, di alun-alun itu terdapat sebuah Pohon yang ditanam oleh orang Medan lho, ini nih foto prasastinya. Pantes aja Batak terkenal banget di Penang. Mantap!




Setelah itu, naik bus lagi menuju Jetty Terminal Bus, disini setiap bus yang datang akan mangkal dulu selama 15 menit, setelah itu narik lagi dia. Tarik mang! Untuk menuju Gurney Drive Hawker, Bukit Bendera (Penang Hill) dan Kek Lok Si Temple, kita harus naik Rapid Penang dari Komtar.

Sebelum ke Bukit Bendera dan Kek Lok Si Temple, saya menyempatkan diri untuk makan siang di sebuah rumah makan yang menyediakan makanan khas Malaysia yaitu Nasi Kandar, lokasi rumah makan ini dekat dengan Komtar. Rupa dan rasa nasi Kandar seperti nasi Padang, harganya cukup terjangkau sih, tergantung lauk pauk yang kita makan. Tahu nggak? Ternyata, di Penang harga Es Teh lebih murah dari pada harga Teh hangat lho. Apa ya alasannya? Jangan-jangan, karena teh hangat volume teh lebih banyak, dibanding volume teh yang menggunakan Es Batu atau, karena gas disana lebih mahal daripada tarif listrik ya? Entahlah.





Penang tahu cara mengemas sesuatu yang 'Seadanya' menjadi seuatu yang membuat 'Penasaran' untuk dilihat. 



Jumat, 18 Mei 2012

George di George Town




Bi-ngung! B-a ba, b-i, dibaca Bingung. Bah, jadi bingung beneran-kan? 

Ketika saya beli tiket minivan, ibu penjualnya bilang Pinang. Si sopir memastikan tujuan saya, dia bilang Pe'ning dengan e' dibaca seperti e kedua pada kata pete. Teman saya yang sudah pernah kesana, bilangnya Penang.

Oke! jadi, saya itu ke Penang ya hanya sekedar ingin tahu aja cara melafalkan Penang yang benar sesuai dengan dialek orang melayu, ya semacam penasaran gitu. Hehehe yaa kalee! Sebenarnya itu aja baru terlintas saat perjalanan dari Hat Yai menuju Penang, seakan ada hasrat dalam diri untuk membuktikan sebuah kebenaran cara melafalkan Penang. Dan tentu cara yang paling jitu dengan bertanya langsung ke masyarakat setempat-kan. Setuju?

Hayo saudara-sauadara seperjuangan dan setanah air, mari di tebak bagaimana dialek melayu yang tepat dalam mengucapkan kata Penang?




18.25 Waktu George Town ;


Saya tiba di Penang ketika kedua jarum jam kompak menunjuk angka 5 dalam Waktu Indonesia Bagian Barat. Sekedar informasi, Penang menggunakan aturan waktu GMT + 8. 

Di Penang saya menginap di George Town. Kawasan ini memang sangat terkenal di Penang. Di kawasan inilah banyak berdiri bangunan tua dengan arsitektur khas Inggris, selain itu terdapat pula cafe, hotel untuk kantong para backpacker, toko kelontong, warung makan seperti nasi lemak yang lebih mirip kayak angkringan Pak Man, penjual teh tarik, penjual susu keledai bukan kedelai lho ini, warung internet, warung kunci duplikat juga ada tuh.

Kelebihan lain menginap di George Town, karena dari kawasan ini saya dapat mencapai banyak tempat wisata dengan hanya berjalan kaki saja. Tapi kalau tidak dapat penginapan di George Town, kita tidak perlu khawatir, karena transportasi umum di Penang itu sangat memadai.

Kita bisa menggunakan bus yang menjangkau seluruh tempat di Penang. Bus umumnya bersih, terawat, ber-AC, harga terjangkau dan letak haltenya strategis. Di Penang juga beroperasi bus gratis lho, bus gratis ini berhenti di 19 pemberhentian dan diantaranya menjangkau beberapa tempat wisata terkenal di Penang, namanya Free CAT. Mantap-kan?

Nama hotel tempat kami menginap adalah Reggae Hotel. Traaanggg trannngg trannngg, takkk takkk, ceket ceket ceket, woyooo yooo! Baru dengar namanya aja serasa ingin berdendang dan bergoyang-kan?




Reggae Hotel adalah penginapan yang menganut sistem buka tutup, eh salah, maksud saya sistem dormitory kayak asrama gitu. Saat check-in masing-masing tamu hotel akan diberi password pintu utama (pintu ini terbuat dari kaca, berada di tangga menuju lantai dua) tujuannya agar dapat pulang tanpa batas waktu dan demi keamanan juga, satu kunci sebagai kunci ruangan dimana terdapat sepuluh tempat tidur, serta password wi-fi gratis.




Di lantai dua hotel ini terdapat beberapa ruangan yang di dalamnya memiliki sepeluh kamar tidur menyerupai peti berbentuk persegi panjang berukuran 180 x 100 cm, lima diatas dan lima dibawah. Di dalam tempat tidur tersebut terdapat satu bantal dengan lagi-lagi tanpa guling, sial! Dua buah kontak listrik, satu lemari kecil, lampu yang berada tepat diatas lemari dan tirai yang berfungsi sebagai pintu.

Dari sekian banyak hotel yang pernah saya 'tiduri', Reggae Hotel memang paling unik dan berkesan banget. Saya pribadi baru kali pertama tidur dalam sebuah kamar yang ukurannya kecil seperti ini. Nah, ada kejadian unik bertemakan perjuangan dan kemenangan nih. Kejadian ini membuat saya sebagai orang indonesia merasa unggul dengan bangsa eropa. Ibarat tinju saya itu menang K.0. Merdeka !

Begini ceritanya, kebetulan ketika saya mau masuk ke dalam tempat tidur, di sebelah saya persis ada bule bertubuh tinggi besar mau tidur juga. Tempat tidur kami bersebelahan dan berada di posisi atas, jadi mau nggak mau kami harus naik tangga dulu.

Sebelum naik, bule yang bertelanjak dada ini tiba-tiba ngliatin saya sambil tersenyum. Waduh! Gawat! Mau diapain nih saya, jangan-jangan dia, oh tidak, ini tidak boleh terjadi. Oke bukan! Itu hanya imajinasi liar tidak masuk akal.

Setelah itu dia mengerutkan keningnya, melihat ke arah tempat tidurnya, di lanjutkan menggeleng-gelengkan kepala dengan menghembuskan nafasnya, h u u f t. Hahaha kenapa Bung? Nggak kuat naik ke atas ya?

Beberapa saat kemudian dia mulai menaiki anak tangga, keliatan banget dia kesusahan saat memegang dan meginjakkan kakinya di tangga. Saat itu juga saya segera memamerkan kehebatan saya, dengan bersuara 'hap hap hap' saya melakukan gerakkan memanjat yang cepat dan licah, kemudian apa yang terjadi? Saya berhasil mendahului dia masuk ke dalam tempat tidur! Wuidih, sebuah prestasai ini. Saat itu juga bendera Merah Putih berkibar! Lagu Indonesia Raya berkumandang seantero Penang suadara-sudara! George  berhasil mengukir tinta emas di George Town!




Reggae hotel sungguh memberi kesan pertama yang tidak akan pernah terlupakan dalam hidup saya. Saya merasakan keramahan dan sambutan hangat yang tulus mulai dari karyawan hotel hingga mereka yang datang dari berbagai penjuru dunia untuk menginap disini.



Beberapa jam setelah pukul 18.25 ;


''Welcome to Reggae Hotel, Selamat datang di George Town, Pine'ng.'' Salam dari seorang wanita cantik berwajah oriental.

''Lepas sepatu kamu disini, kemudian kita akan naik ke lantai dua menuju tempat tidurmu.'' Kata-kata itu keluar dari mulut Kobit, seorang laki-laki berkulit hitam yang sudah dua tahun lebih meninggalkan kampung halamanya - Bangladesh untuk mencari nafkah di Penang.

Kobit memaksa untuk membawakan tas dan menunjukkan kamar, pemuda ini sungguh baik dan ramah, senang rasanya bisa berkenalan dengan Kobit, detik pun tidak menjadi penghalang bagi kami untuk saling mengakrabkan diri satu sama lain.

''Jadi besok sudah pulang? Singkat sekali. Kalau ada kesempatan kembalilah ke Pine'ng.'' Ucap Kobit.

''Pasti Kobit, dilain waktu pasti saya akan kembali ke Pinang.'' Balas saya, sembari membalas senyumannya.

''Pinang '' Ulang saya.

''Pine'ng.'' Kobit membetulkan ucapan saya. ''Pine'ng''

''Ya, Pine'ng.'' Saya mengucapnya sekali lagi, kali ini dengan e' seperti e kedua pada kata pete, persis cara Kobit mengucapkannya tadi.



***


Dan malam pertama di Penang saya manfaatkan untuk mengunjunggi Gurney Drive Hawker - Tempat makan open air yang sangat terkenal di Penang, beroperasi mulai pukul 18.30. Dilanjutkan dengan bermain mimpi di pulau kapuk, mengisi tenaga agar tetap mengimbangi semangat berpetualang yang tak pernah padam, untuk menjelajahi Penang di ke-esokan hari.


Gurney Drive Hawker Centre



Sabtu, 12 Mei 2012

Bebas Tak Terbatas





29 Maret 2012 ;


Tepat pukul tujuh pagi, kami akan meninggalkan Ao Nang menuju Penang. Perjalanan ke Penang akan kami tempuh selama sepuluh jam melalui jalur darat menggunakan minivan dengan biaya 700 Baht per orang.

Setelah empat jam lamanya, kami tiba juga di Hat Yai. Sebuah kota yang terletak di Selatan Thailand, disini kami hanya akan berganti minivan saja dan kembali melanjutkan perjalanan ke Penang.

Seperti perjalanan sebelumnya, sesampainya di kantor imigrasi dan dilanjutkan dengan mengurus ijin, kami tidak pernah menemui masalah, semua nampak mudah dan lancar. Setelah dari perbatasan kami melanjutkan kembali perjalanan, kemudian kami melewati lalu lintas tol jembatan yang sangat panjang, besar dan kokoh. Jembatan ini menghubungkan antara Bayan Lepas di Pulau Penang dengan  Seberang Prai di daratan Malaysia. Panjang lintasan jembatan ini 13,5 kilometer dan menjadi Jembatan terpanjang di Asia Tenggara.



Penang Bridge. Sumber : thestar.com



Selepas dari Jempatan Penang atau lebih dikenal dengan nama Penang Bridge, saya banyak melihat burung-burung berterbangan di jalan raya. Mereka nampak bebas. Begitu pula saat saya tiba di George Town, ibukota Penang. Deretan bangunan tua di George Town tak nampak terlihat seperti umur aslinya, masih berdiri kokoh, terawat, dengan aristektur bangunan khas jaman dulu. Sungguh artistik kota ini, penuh dengan suasana nostalgia layaknya sebuah kota tua, ditambah dengan berbagai macam burung yang berterbangan.

Burung-burung itu hinggap sesuka hati dimanapun mereka mau, entah itu di toko, atas warung, trotoar, halaman masjid, halaman klenteng, atap gereja, traffic light, taman kota, sama sekali tak ada yang berani mengusik, bebas tak terbatas! Seperti Ao Nang sore itu.



Bebas Tak Terbatas - George Town, Penang




Sore di Ao Nang ;

Saat itu mata saya secara jelas menangkap matahari yang perlahan mulai kembali ke peraduannya, gerakkannya anggun dengan tetap memamerkan pesonanya. indahnya!

Ini adalah sore yang tak biasa dalam hidup saya, alasannya, karena saya menikmatinya sesaat setelah terbangun, bukan terbangun di kamar melainkan di sebuah pantai, dengan pasir sebagai kasurnya.

Aih, kedua mata memang sudah terbuka, tapi raga masih ingin bermalas-malasan, belum lagi alunan deru ombak dan indahnya warna cakrawala sungguh memanjakan saya. Tapi yang paling membuat saya terkesima adalah burung-burung yang bebas berterbangan di Pantai ini, ada begitu banyak burung disini, mereka dengan santainya mencari makan, bersarang, dan berkicau. Sebenarnya tidak hanya di Ao Nang saja, di seluruh kota di Thailand yang sudah saya kunjungi banyak burung-burung berterbangan dengan bebasanya, tak terkecuali di kota besar seperti Bangkok sekali pun.

Dan hati kecil-pun berteriak. Berteriak, karena iri dan marah.


''Kalau di Indonesia pasti sudah ditangkap! Dijual! Mempertebal dompet! Atau kalau nggak dijual pasti ditangkap utuk kemudian di makan! Memperbesar perut!''




Jumat, 11 Mei 2012

Ini Kali Pertama Saya Berjemur !




"Kalau ada satu kegiatan yang belum pernah dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk saya lakukan, kegiatan itu adalah berjemur di pantai."


Tour Phi-Phi island di akhiri dengan berkunjung ke Koh Khai island. Disini terdapat pantai dengan pasir putih bersih, air lautnya biru toska, serasi dengan warna langit saat itu. Saat turun dari speed boat, ratusan ikan nampak dengan jelas menari-nari di dalam air, seakan sudah terbiasa dengan kedatangan manusia.


Ini Roti, Itu Ikan


''Remember, yuo have two hour!'' Pemandu kami berteriak dengan suara melentik, suaranya begitu khas di telinga.


Huh! Ini nih nggak enaknya kalau ikut tour. Ke Maya Bay yang menjadi lokasi syuting 'The Beach' cuma 45 menit, ke Viking Cave lihat sarang burung walet  dilanjutkan melihat monyet bergelantungan ya semacam angkot gitu, cuma ngetem beberapa saat trus lanjut lagi, saat snorkling di Loh Sama Bay terkesan cuma numpang nyebur, makan siang di Phi Phi Don hanya diberi waktu 45 menit. Serba singkat, jelas, padatlah intinya.



Phi-hi Island


Tapi di antara tempat-tempat tadi, waktu yang diberikan di Koh Khai island memang lebih lama, iya lama kalau di bandingkan dengan tempat lainnya. Selain sebagai lokasi terakhir dari tour, pantai ini memang di khususkan sebagai tempat untuk istirahat para peserta, bisanya mereka pada berjemur, dengan menyewa satu set kursi pantai. Kalau nggak punya duit? Yaa selamat bermain-mainlah dengan ikan, seperti nasib saya ini!

Di Koh Khai island banyak sekali turis mancanegara, mereka dengan sengaja mebiarkan tubuhnya dilihat matahari. Jadi heran, kenapa ya sebagian besar bule itu suka banget sama yang namanya berjemur? Sampai berjam-jam hingga ketiduran, padahal bisa dibilang matahari bersinar cukup terik, tapi mereka tetap terlihat nyaman-nyaman aja.



Ao nang, Krabi ;

Saya suka banget ke pantai, suka bermain air, tapi untuk melakukan aktivitas yang satu itu, yakni berjemur, benar-benar nggak pernah terlintas di pikiran saya. Mungkin, karena seluruh hidup saya itu di habiskan di negara tropis, hampir 13 jam dalam sehari ketemu matahari, mulai dari dia bangun sampai kembali lagi ke peraduannya.

Tapi beda ceritanya waktu saya berkesempatan menginjakkan kaki di Pantai Ao Nang. Pantai ini memberi kesempatan saya untuk merasakan sebuah pengalaman yang belum pernah saya lakukan sebelumnya, berjemur di bawah teriknya matahari, hingga berjam-jam, hingga tertidur pulas di pantai.

Pantai Ao Nang terletak di Krabi, Thailand bagian Selatan, kira-kira enam jam waktu tempuh jika menggunakan minivan dari Phuket. Pengunjung di Pantai Ao Nang lebih sedikit, suasananya juga jauh lebih sepi dari pada di Pantai Patong. Tidak seperti di Pantai Patong atau Koh Khai island yang banyak kursi lengkap dengan payung warna-warninya, di Ao Nang tidak satupun saya melihat benda-benda itu, mereka yang berjemur langsung merentangkan tubuhnya diatas pasir dengan matras sebagai alasanya.



Pantai Ao Nang, Krabi


Saya bergegas meletakkan ransel di kamar, dan segera kembali bermain air. Ombaknya begitu tenang, pantainya bersih, dan banyak pohon rindang berderet di sepanjang pantai, seakan menjadi payung bagi siapa saja yang hendak berleha-leha di pasirnya.

Hanya sesaat saya bermain air, badan sudah capek banget, efek dari perjalanan darat dari Phuket ke Krabi sudah mulai terasa. Saya pun langsung beranjak ke tepi pantai, duduk, meraba pasir, melihat hamparan laut, sembari merasakan semilir angin. Suasana yang benar-benar memanjakan tubuh, seketika saya langsung terlentang diatas pasir.

Aha, akhirnya saya berjemur juga! Ada perpanduan yang serasi antara siraman sinar mentari dengan semilir angin pantai, membuat tubuh terasa hangat. Sungguh saya menikmati semua kenyamanan ini.

Ternyata saat kita berjemur, sinar UV yang dipancarkan matahari itu akan merangsang vitamin D dalam tubuh kita lho. Nah, vitamin D ini fungsinya banyak, anatara lain untuk mecegah kanker, meningkatkan sirkulasi darah, mengurangi depresi, dan lain-lain.

Kemudian terlelap, dan terbangun beberapa saat sebelum Muadzin selesai mengumandangkan panggilan doa bagi umat Muslim.






Thai Ladyboy




Saya itu merinding campur ngilu kalau lihat apalagi dekat-dekat sama yang namanya waria, semacam paranoid, karena dahulu kala titit saya pernah di pegang sama pengamen waria! Kremes! Emang sial tuh bencong! Makanya sebelum ke Thailand, saya sudah mewanti-wanti diri saya untuk menganggap terlebih dahulu semua wanita cantik adalah waria, jadi nggak boleh dekat-dekat sama wanita sebelum yakin 100 % dia adalah seorang wanita tulen.

Saya tiba di Khaosan Road saat malam sedang berpesta, banyak sekali turis berbaur dan ikut merayakannya. Mereka pada nongkrong, minum bir, sihsa, pijat, dan lain-lain. Tapi yang paling menarik perhatian saya itu adalah sosok mas-mas, mbak-mbak, atau apalah itu namanya, saya bingung memberi sebutan untuk seorang waria. Waria itu singkatan dari wanita-pria, gimana coba? Wanita enggak, apalagi pria, kalau nyebut mbak enggak pantes, kalau nyebut mas nanti dia marah, atau ssssttt (di baca: ses) aja kali ya?

Mereka itu pada seliweran di kawasan Khaosan Road. Mereka cantik-cantik lho, berpakaian sexy, dan make up merekapun nggak menor kayak waria-waria di Indonesia pada umumnya, sepintas mereka tampak seperti wanita tulen, atau bahkan bisa dibilang melebihi, tapi melebihinya dari segi penampilan saja lho ya.

Ternyata untuk mebedakan antara waria dengan wanita tulen sebenarnya tidak terlalu sulit kok. Cara paling mudah adalah memperhatikan saat mereka berjalan, waria itu kalau jalan agak berle' alias berle'-bihan, nggak cuma ukuran payudaranya aja yang berlebihan, tapi gerakan pinggul, pantat, dan kakinya saat jalan pun seperti dibuat-buat, dengan kata lain mereka sangat menonjolkan bagian-bagian tubuh yang bisa dibilang sempurna untuk seorang yang tadinya adalah pria.

Lihat juga pada bagian jakunnya. Kalau waria itu 'biasanya' mempunyai jakun. Kenapa saya bilang biasanya, karena ada waria yang jangkunnya udah hilang, mereka nekat operasi jakun, jadi jakunnya emang bener-bener nggak ada lho. 

Tapi, menjadi sulit jika kita melihat waria dari cara mereka beriteraksi dengan orang, beda dengan waria di Indonesia yang pada umumnya masih menyimpan sisi maskulin-nya dan keagresifan-nya ketika berinteraksi. Waria di Thailand pada umumnya benar-benar menghayati perannya, supaya dianggap sebagai wanita. Mereka itu nggak agresif saat berbicara, bicaranya pelan dengan nada suara rendah dan sebisa mungkin menyamai suara wanita pada umumnya. Selama di Thailand saya juga nggak pernah melihat waria yang jadi pengamen, mintain duit, dan aktivitas sejenisnya. Waria disini elit nongkrongnya aja di cafe atau bar!

Yap, waria di Thailand itu legal, pemerintah Thailand memperbolehkan warganya mengubah kelaminnya. Bahkan di Thailand ada semacam parodi musik dan teater yang sangat terkenal dimana keselurahan pemeran wanitanya adalah waria asli produk Thailand. Misal Simon Cabaret Show di Patong, Phuket.



Cabaret Show;

18 jam kira-kira perjalanan dari Bangkok menuju Phuket. Ini perjalanan darat terjauh, dan paling capek, alhasil bikin pantat keram! Untuk ke Phuket kita harus mengganti bus terlebih dahulu dengan minivan di Surat Thani. Kemudian kita akan di bawa ke Phuket Tiwn Terminal yang terletak di Phang Nga Road.

Setibanya di Phuket naik songhtaew menuju Pantai Patong, songhtaew biasa mangkal di Ranong Road, kendaraan ini semacam angkot antar pantai dengan berbagai tujuan dan hanya perlu membayar 20 Bath sekali jalan (1 Bath sama dengan 325 Rupiah). Murahkan?




Saya pribadi lebih memilih menginap di daerah Pantai Patong dari pada Phuket, Patong jauh lebih ramai dan berwarna, selain itu, karena kawasan ini menjadi tempat diadakannya pertunjukkan Cabaret Show.

Pokoknya kalau ke Patong, anggarkan pengeluaran 800 Bath untuk melihat pertunjukkan ini ya, jangan sampai di lewatkan deh, tiket bisa di beli di seluruh agen yang berada di Patong, harganya sama dengan beli langsung di lokasi pertunjukkan. Dalam sehari ada dua kali pertunjukkan, pukul 19.30 dan 21.30. Saya membeli tiket untuk pertunjukkan paling akhir.

Kagum, itulah kesan pertama yang saya rasakan saat kali pertama melihat pertunjukkan ini. Para waria di pertunjukkan ini benar-benar menyerupai seorang wanita. Menggunakan gaun indah nan sexy, berlengak-lengok, menari dan bernyanyi seakan artis ternama yang sedang tampil dalam sebuah konser kelas dunia, mereka nampak cantik. Belum lagi konsep pertunjukkan, lighting, dan tata musik yang sangat fantastis. Cabaret Show menarik sekali dan sangat menghibur! 

Oia, selama pertunjukkan berlangsung kita dilarang mengambil gambar ya, kalau ketahuan nanti bisa di kucilin se-Thailand, jadi jangan coba-coba melanggar deh! Namun, setelah pertunjukkan berakhir, kita boleh memfoto dan foto bersama para pemainnya.


Dilarang


Dengan membayar tip 40 Baht, kamu boleh berfoto dengan para waria yang cantik-cantik itu. Setelah acara berakhir, saya baru sadar kalau ternyata banyak banget yang melihat pertunjukkan ini, nggak kebayang berapa penghasilan yang mereka dapatkan tiap harinya. Seketika saya jadi ingat dengan ombrolan singkat bersama seorang pegawai pijat Thai Massage, sebut saja namanya Alpha (nama disamarkan, demi kebahagian bersama).

Saat itu kami berdua berbincang mengenai waria di Thailand. Singkat cerita, Bu Alpha menyetujui adanya waria, ''Ladyboy itu sah-sah saja di Thailand, mereka adalah aset negara.''

Kemudian bu Alpha menambahkan, ''Kalau ladyboy yang tampil di acara-acara sejenis Cabaret Show, sebagian besar sudah di operasi plastik, mulai dari wajah, hidung, sedot lemak, payudaranya disuntik silikon, jakun dioperasi, tititnya pun juga dipotong.'' Krez! krez! Yamy!

Namun, meskipun transgender adalah sesuatu yang legal, tetapi ada peraturan dari pemerintah Thailand dimana segala macam Kartu Indentitas nggak boleh ganti jenis kelamin menjadi perempuan, sesempurna apapun perubahan yang mereka lakukan ya harus tetap ditulis laki-laki.

Terakhir, bu Alpha juga menasehati saya agar tidak pernah menanyakan, ''Apakah anda ladyboy?'' kepada seorang ladyboy, kalau tetap nekat nglakuin hal itu, bisa-bisa di telen hidup-hidup. Kemudian senyum mengembang dari wajah ceria bu Alpha, dan serentak kami tertawa bersama, tertawa untuk mengakhiri kisah.



Foto Bersama Ssssttt




Long Life The King





Saat itu saya sedang berada di atas jembatan penyeberangan yang menghubungkan antara Anyer dan Panarukan, Plak! Salah! Maksud saya, di atas jembatan penyeberangan antara Mah Boon Krong dan Siam Square. Hingga kemudian semua orang mematung, mungkin lebih tepatnya berhenti untuk sesaat. Pejalan kaki tiba-tiba menghentikan lagkahnya.

Karena penasaran, saya mencoba bertanya dengan seorang pria yang juga berhenti secara tiba-tiba tepat di depan saya.


''What's wrong ?'' 

Sial! Suara saya terdengar begitu keras, ini karena jalanan yang tadinya bising oleh lalu lalang kendaraan, jembatan yang tadinya ramai oleh obrolan manusia, tiba-tiba hilang entah kemana, bahkan Skytrain-pun tidak di operasikan untuk sesaat.


''The King of Thailand.'' Jawab pria tadi dengan nada yang sangat lirih, seakan takut kalau-kalau suaranya sekeras saya tadi.

Sebenarnya saya pribadi belum bisa percaya dengan jawaban tadi, tapi kalau memang benar karena rajanya akan lewat hingga semua aktivitas harus berhenti, saya tidak menggangap itu sebagai sesuatu yang aneh atau berlebihan.

Dari apa yang saya lihat dan rasakan, rakyat Thailand memang sangat menghormati, patuh dan setia kepada Raja-nya. Contoh yang paling gampang adalah banyaknya foto-foto raja Bhumibol Adulyadej terpasang di kantor imigrasi, kantor polisi, beberapa sudut jalan, pertokoan, wat, sekolah, dan lain-lain. 

Selain memasang foto, dari beberapa sumber yang saya dapat, Raja Thailand memang terkenal dekat dengan rakyatnya. Kedekatan itulah yang membuat rakyat Thailand begitu mengelu-elukan sang Raja. Bahkan di hari tertentu rakyat Thailand menggunakan pakaian berwarna kerajaan (kuning)  dan saat hari ulang tahun Raja mereka menggunakan aksesoris bertuliskan Long Life The King - Umur Panjang Raja. 

Beberapa menit kemudian enam mobil elit berwarna hitam melintas dengan cepat di jalan raya yang berada tepat di bawah jembatan penyeberangan, setelah itu semua kembali seperti biasa. Jalanan yang tadinya sepi kembali ramai oleh kendaraan bermotor, dan jembatan penyeberangan kembali diramaikan oleh obrolan dan hilir-mudik pejalan kaki.


''Wah keren ya, beda dengan di Indonesia.'' Kata pria itu kepada saya, sembari berlalu. Ucapan itu seakan menyakinkan saya, bahwa yang lewat tadi memang rombongan dari Kerajaan Thailand. 


Aha! Ternyata benar, sudah saya duga sebelumnya, dia adalah orang Indonesia. Saya yakin, karena ciri-ciri yang menyelimuti dirinya itu memang Indonesia banget.

Dari sebuah pengamatan yang saya lakukan, wisatawan yang berkunjung di MBK itu cuma ada dua jenis :

Pertama, wisatawan dari luar Asia Tenggara, dimana dapat kita kenali dengan sangat mudah.

Kedua, adalah wisatawan asal Asia Tenggara. Dari obrolan singkat dengan seorang pedagang kaos di Mah Boon Krong atau yang biasa dikenal dengan nama MBK, bahwa pengunjung di MBK itu paling banyak  berasal dari Indonesia dibanding Malaysia apalagi negara Asia Tenggara lainnya. Bahkan di MBK-pun banyak pendagang souvenir dan kaos dapat berbicara beberapa kata dalam bahasa Indonesia, terutama angka untuk menyatakan nominal sebuah harga.

Dan alasan lain yang membuat saya yakin bahwa dia adalah orang Indonesia adalah tulisan yang tertera di pakaian yang dia gunakan, bertuliskan : I ♥ BKK . Wisatawan asal Indonesia banget-kan? Hehehe.




Lucky Number ; 

Tujuan saya ke MBK, tidak lain tidak bukan hanya untuk melihat-lihat souvenir, dan kios-kios penjual pakaian yang terletak di lantai tiga. Belum lama saya berada di area khusus souvenir ini, saya sudah menemukan sesuatu yang unik nih, ketika saya melihat ada beberapa kios kaos yang menjual semua dagangannya dengan harga sama, yaitu sembilan-sembilan. 99 Baht untuk satu baju, lucky number mungkin! Hehehe.

Kalau untuk urusan baju menurut saya pribadi memang lebih baik beli di MBK saja. Selain harganya yang relatif murah, desain baju-pun lebih beraneka ragam dari pada di Cathucak Market. Tapi, untuk masalah souvenir ? Hmmm, saran saya, coba ke Cathucak Market saja.


Setelah dari MBK saya menyempatkan diri menuju Cathucak Market, ini adalah pasar tradisional yang hanya ada di hari Sabtu dan Minggu saja, jadi nggak heran kalau pasar ini lebih di kenal dengan nama Weekend Market, dan pengunjungnya ramai banget nget nget.

Untungnya tempat ini sangat luas, dengan penataan kios yang rapi dan di tempatkan pada area-area sesuai jenis barang apa yang dijual, membuat pasar ini nggak terasa sesak.

Barang yang dijual di Chatucak pun beraneka macam, mulai dari kaos, tas, sepatu, lukisan, kain, makanan, dan lai-lain. Khusus untuk souvenir, yang di jual lebih variatif dan relatif murah juga, intinya pintar-pintar kita nawar aja. Jadi, untuk urusan beli souvenir, sepertinya Chatucak Market jauh lebih baik.


Dan ini yang saya beli di MBK dan Cathucak Market :


Boxer Merah Merona dengan Motif Gajah




Kaos Muay Thai dengan Harga 99 Baht



Tiga Sekawan