Rabu, 28 November 2012

Semburan Kesejahteraan dari Semburan Minyak?



28 Juli 2011
Ini pokoknya serba mendadak. Bangun jam 12 siang, lihat hand phone dan ada sms dari teman yang mengajak saya jalan-jalan ke Semarang. Tanpa pikir panjang, saya terima.. Sah!
Kebetulan malam itu sedang berlangsung pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Turkmeniztan. Karena kami pencinta bola dan suporter sejati tim nasional Indonesia, sesampainya di Semarang kami memutuskan untuk menonton bolah terlebih dahulu, hehehe.
Suasana nonton bareng malam itu sangat ramai, terlebih ketika gol demi gol diciptakan oleh pemain Indonesia. Namun kegembiraan itu sempat tergantikan dengan ketegangan, tim tamu perlahan mulai menyusul. Bah, macam mana pula ini! Dari skor 4-1 sekarang kedudukan udah 4-3. Kalau Indonesia kalah, dengan jantan saya akan turun dari kursi ketua PSSI!!
Sepak bola, oh.. sepak bola. Sepertinya rakyat Indonesia memang sudah jatuh hati dengan olahraga yang satu itu. Nggak peduli tim nasional sering kalah dari pada sering menang, kesetiaan dalam mendukung tidak perlu diragukan lagi. Untunglah dalam pertandingan malam itu Indonesia berhasil menang.
Selesai menonton bola, kami menyempatkan untuk berkunjung ke Lawang Sewu. Masyarkat menyebut Lawang Sewu karena jumlah pintu yang sangat banyak. Pada kenyataannya pintu di gedung ini tidak mencapai seribu lho! Bangunan ini dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Awalnya bangunan ini difungsikan sebagai NIS (Kantor Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta milik Kolonial Belanda), namun bangunan ini sempat menjadi penjara bawah tanah oleh serdadu Jepang. Ratusan orang di penjara, di siksa, dan meninggal secara tragis.
Selain berkunjung ke Lawang Sewu, sesuatu yang wajib dilakukan saat berada di Semarang adalah mencicipi kulinernya. Salah satunya adalah angkringan pagi, angkringan khas kota Semarang yang buka mulai pukul 11 malam. Makanannya bermacama-macam dengan harga yang relatif murah. Ketika makan dan ngobrol-ngobrol, tiba-tiba kembali muncul rencana jalan-jalan yang implisit, dadakan, tanpa rencana sebelumnya! Kami akan melanjutkan perjalanan malam ini ke kota minyak, Cepu. Yes! Berangkat..

29 Juli 2011
Blok Cepu merupakan salah satu ladang minyak tertua di dunia. Sebagian besar sumur minyak disana telah dioperasikan sebelum Perang Dunia II. Di cepu kami bertemu dengan seorang teman yang sangat baik, dia adalah Bastian, biasa disapa mas Bas. Dari dialah kami berkesempatan untuk melihat-lihat lokasi sumur tua di desa Ledok dan desa Wonocolo.
Cuaca di Cepu puanas sekalee.. Jogja kalah panas! Tapi teriknya matahari saat itu nggak bisa ngalahin semangat dan atusias kami. Bagaimana tidak antusias, sudah dua semester saya menjalani kuliah studi Perminyakan dengan senang hati, gembira, dan rajin (pernyataan yang terakhir boleh dihilangkan). Tapi saya pribadi kok merasa belum paham betul tentang ilmu Perminyakan ya, maka dari itu saya berniat mengikuti Field Trip yang sering diadakan oleh salah satu organisasi di kampus. Dari pagi udah nunggu, tapi tetap aja nggak pernah dapat tempat. Sialnya kejadian ini menimpa saya berkali-kali! Karenanya ketika ada kesempatan ke Cepu dan ada tawaran untuk melihat langsung sumur minyak, saya senang banget, jadi selain jalan-jalan saya juga bisa menambah pengetahuan tentang ilmu yang sedang saya tekuni sekarang. Yuhu..
Namanya Urok Rakeri, senang dipanggil Brian. Selera humornya tinggi, kulit hitam manis, wajah eksotis, dan senyumnya meringis. Brian adalah teman mas Bas saat duduk di bangku SMA. Karena tuntutan ekonomi, dia tidak melanjutkan kuliah, dan lebih memilih bekerja di salah satu sumur minyak di desa Ledok.
Ternyata di desa Ledok terdapat sumur minyak pertama yang di bor pada tahun 1893 lho! Sebagian besar sumur minyak di desa Ledok itu dikelola secara konvensional oleh masyarakat setempat. Sumur disana juga sudah tua dan tidak terlalu mengutungkan. Produksi air lebih banyak daripada minyak! Hehehe.
Sepengetahuan saya nih ya, kalau ke lapangan minyak itu kan harus serba safety. Pakai celana dan pakaian lapangan, sepatu lapangan, google, helmet, nah ini.. dengan hanya memakai kaos oblong, sandal, dan jauh dari kesan safety kami diperbolehkan mendekat ke sumur minyak milik mas Usrok. Bahkan mas Usrok sendiri tak beralas kaki dan.. merokok! Hahaha kacau!
Mengelola sumur minyak disana itu seakan bermain Judi. Satu sumur tua dikelola oleh minimal 10 orang dengan biaya operasional yang sangat besar. Padahal produksi minyak disana tidak menentu, koperasi desa milik Pertamina pun hanya membeli minyak seharga 850 rupiah per satu liter!
Coba kita kalkulasi, misal satu sumur memproduksi 5000 liter. 850 rupiah x 5.000 liter = 4.250.000 rupiah.
Kemudian hasil penjualan tersebut akan dibagai ke 10 orang, jadi pendapatan per orangnya = ? Oia, belum lagi uang yang harus dikeluarkan untuk biaya operasional. Dih! Horornya!
Setelah menyalakan flare, yang lebih pantas dibilang obor, kami meninggalkan sumur milik mas Usrok menuju desa Wonocolo. Sama seperti di desa Ledok. Di desa Wonocolo juga terdapat puluhan sumur tua yang masih dikelola secara konvesional oleh penduduk setempat.
Tapi di desa Wonocolo itu lebih sangar! Jadi begini, di desa Wonocolo itu terdapat penyulingan dan ternyata mereka tidak mau menjual semua hasilnya ke koperasi. Solar-solar dijual secara diam-diam ke penampung ilegal atau langsung ke sopir truk yang melintasi jalur Pantura, alasannya, karena mereka membeli lebih mahal dibanding harga beli di koperasi. Tentu saja perbuatan itu melanggar peraturan. Jika tertangkap, teguran hingga denda jutaan rupiah pun memanti.
Lagi-lagi hanya bisa berharap. Semoga pemerintah tidak menutup mata dan serius memperhatikan masalah ini. Bukankah dulu sumur-sumur minyak ini begitu superior? Menghasilkan ratusan barel tiap harinya. Menghasilkan devisa jutaan rupiah bagi Negara. Lantas ketika semuanya telah di eksploitasi dan sekarang tidak mengntungkan lagi apakah semudah itu ditinggalkan dan dilupakan ?!
Hanya sekedar angan ketika masyarakat Cepu berharap mendapatkan 'semburan' kesejahteraan dari semburan minyak. Tidak ada tanda-tanda kesejahteraan menyelimuti masyarakat Cepu. Pendapatan perkapita kecil, sarana-prasarana umum memprihatinkan, dan pengangguran pun merajalela di Kota Minyak ini.