Senin, 19 Agustus 2013

Senin Gembira





"Mau kemana nih bro?"
"Belum tau e, masih belum cetho."
"Derek, where will we go next?"
"Duh, ora ngerti e, ora cetho ini." *Padahal Derek bule, oke sip !
"Nah, kita ke Cetho aja kalau gitu !"

Jadilah hari ini kami melakukan perjalanan ke candi Cetho. Kurang lebih dua jam dari kota Solo, terletak di dataran tinggi Karanganyar. Bisa dibilang candi ini memang tidak sepopuler kawasan wisata Tawangmangu atau air terjun Gerojokan Sewu. Letaknya yang cukup jauh, dengan jalan berliku khas pegunungan membuat kawasan ini hanya dikunjungi oleh wisatawan minat khusus saja. Sembari membayangkan jauhnya perjalan yang kami tempuh dari kota Jogja, saya akan perkenalkan terlebih dahulu salah satu teman perjalanan kami, yaitu Derek Freal. 



Misi Pak, kami mau foto pak ... (candi Cetho)

Tak heran kalau Derek bisa mengucap beberapa kata dalam bahasa Indonesia, terutama kalau disuruh pesan makanan. Salah satu yang membuat saya kagum dengan dia, adalah pengalamannya melakukan perjalan dari Jogja ke Surabaya menggunakan sepeda motor seorang diri.

"I did not use GPS, just looked at map and met scouts. I just followed local drivers when I met traffic signs. Indonesian drivers are so crazy, yellow means fast! But I am enjoy herre." Dan sontak kami tertawa dengan perkataannya, antara mengiyakan dan malu.

Kalau teman-teman #HiTravelers ! mau mengenal dia, silahken follow twitternya di @Derek_4Real. Dalam kicauannya dia banyak memberikan informasi menarik tentang dunia traveling, atau kalau mau follow @GeorgeGuling juga boleh, iya boleh, apalagi kalau sekalian beli bulu "Hi Travelers !" boleh banget !!! 
dahulu salah satu teman perjalanan kami, yaitu Derek Freal. 


Sudah mengudara dan bisa dibeli di toko buku.

Derek Freal ini seorang backpacker yang tipenya sama kayak saya, kami sama-sama suka daerah pegunungan dari pada pantai. "In Mountain you can see many things, different with beach. You just see waves." Buat yang hobi ke pantai jangan kesinggung ya, ini cuma opini aja, hehe. Tapi beneran kami memang nemuin banyak hal ketika nglakuin perjalanan ini, mulai dari yang udah di duga sampai yang nggak kami duga sebelumnya, so, enjoy reading our jouney ya..

Terletak di kaki gunung Lawu dengan ketinggian 1496 meter diatas permukaan laut, candi Cetho merupkan candi Hindu yang masih digunakan oleh masyarakat sekitar. Ketika memasuki kawasan candi kami melihat batu berukuran sangat besar berbentuk Phallus dan Vagi - nah. Dari informasi yang saya dapat, bentuk tersebut sebagai lambang penciptaan dalam hal ini kelahiran kembali setelah di bebaskan dari kutukan. Itulah mengapa candi Cetho ini memiliki fungsi utama sebagai tempat peruwatan pembebasan diri dari kutukan. 

Candi yang di bangun pada tahun 1475 masehi ini sangat artistik dengan pemandangan sekitarnya yang luar biasa indah. Di pintu masuknya terdapat dua buah bangunan menjulang tinggi dengan gagahnya. Setelah menitih anak tangga menuju gerbang tersebut, tampak dari kejauhan bangunan utama candi dengan halaman yang luas. Jalan setapak halaman candi seakan permadi yang di bentangkan dan berunjung di singgasana  Ratu. Kalau boleh saya andaikan, bangunan utama candi berbentuk piramid itulah singgasana tersebut. Tidak terlalu besar memang, namun begitu memikat. Buat saya, ini adalah kali pertama melihat secara langsung candi berbentuk piramid. Berbeda dengan candi Hindu pada umumnya bukan? 

Tidak hanya di candi Cetho saja yang memiliki bangunan utama berbentuk piramid, hal serupa juga kami temui di candi Sukuh. Letaknya tidak terlalu jauh dengan candi Cetho, perjalanan semakin tak terasa karena kami menuruni jalanan berliku dengan hamparan kebun teh di sisi kanan dan kiri jalan. Dan sempat kami singgah untuk mengabadikannya dalam beberapa jepretan. 

Candi Sukuh terletak di ketinggian 960 meter diatas permukaan laut. Lebih rendah dari candi Centho memang tapi sama-sama mempunyai kemungkinan tertutup kabut ketika menjelang sore, bahkan tengah hari sekalipun. Beruntung saat kami kesana, kabut belum turun sehingga ada banyak waktu untuk menikmatinya. 



Seperti yang saya bilang tadi, bangunan utama candi Sukuh memiliki kesamaan dengan candi Cetho, daaaaan.. bangunan budaya suku Maya, di India, serta bangunan budaya Chitzen Itza di Peru. Nggak percaya? Oke saya jabarkan satu-satu yaa. 

Candi Sukuh dikenal sebagai candi yang menjelaskan tentang kesuburan dan seni bercinta, many statues and relief which were symbol of sex, hal ini hampir sama dengan buku Kamasutra. Dan ternyata, disebuah perpustakaan di Berlin, Jerman, ada buku yang mengambarkan relief awal candi Sukuh secara lengkap, namun sayangnya nasibnya sama dengan buku Kamasutra, kedua buku tentang seni bercinta itu dianggap tabu oleh pemerintah Indonesia sehingga tidak diijinkan untuk dipublikasikan. Huft !

Bangunan utama candi yang berbentuk piramid serupa dengan bangunan budaya suku maya di amerika tengah dan chichen itza di peru. Jadi apakah candi-candi yang memiliki jarak jutaan kilometer jauhnya ini saling berhubungan? Hmmm.. ya.. yaa.. bisa jadi.. bisa jadi.. !!

Samakan ? udah iyain aja ~


Itu tadi beberapa kesamaannya, nah ada juga nih keunikannya, kalau tadi di candi Cetho lihat lambang Pallus dan Vagi - nah segede gaban, di candi Sukuh bentuk semacam itu berhamburan! hahaha, secara candi ini menjadi simbol kesuburan dan seni bercinta jadi ya nggak heran banyak gitunya. Dan ada juga bagian candi yang konon di pakai buat ngetes seorang wanita masih perawan atau enggak. Caranya tinggal masuk ke dalam candi, nanti kalau saat melintasi bagian dalam candi baju yang dipakai sobek atau bahkan sampai terluka tandanya udah nggak perawan, tapi sayang kami nggak bisa nyoba, karena sekarang sudah di tutup dengan pagar dan karena kami laki-laki semua! ngapain cobain begituan! Tapi untuk yang ngetes keperawanan saya rasa itu cuma mitos aja, bagaimana mungkin benda mati bisa nglakuin tes gituan, tidak masuk akal kan? apalagi jika dikaitkan dengan dunia medis.

Mau coba masuk, sayang ditutup.

Ngomong-ngomong masalah nggak masuk akal, ada yang lebih nggak masuk akal lagi nih. saat lagi asik-asiknya foto, saya denger suara berirama dangdut dari balik candi gitu. Karena penasaran saya coba menulusuri suara-suara misterius tersebut, yaa kali aja saya dapat kesempatan lihat dewi-dewi khayangan lagi pada dangdutan.

Dan ternyata bener! Suara dangdut itu emang beneran ada, letaknya di hutan tepat di belakang candi. Tapi bukan dewi-dewi khayangan sedang dangdutan, melaikan puluhan mas-mas telanjang dada lagi ikutan lomba panjat pinang menyambut hari kemerdekaan, hehehe. Jujur, ini baru kali pertama saya melihat lomba panjat pinang, tak ayal saya ikutan man - jat. Enggak, saya nggak ikutan manjat, tapi sibuk fotoin mas-mas ini beraksi. Bahu-membahu, gotong royong kerjasama buat sampai puncak dengan diiringi alunan musik khas tanah air, dangdut! Semangat mas!


Nggak terasa udah lewat tengah hari, sekarang waktunya untuk mengisi perut. Go to eat and keep exploring! Kita gas mobil menuju Tawangmangu. Mampir di rumah makan pecel dan sop buntut Bu Ugi, ini semacam rumah makan enak dan legendaris di Tawangmangu. Kalau kata Derek, "Sop buntunya maknyus!" It was a delicious taste, bro! Dagingnya banyak dan nggak alot, trus kuahnya seger banget seakan menghangatkan dinginnya Tawangmangu saat itu. Karena pengunjungnya ramai banget jadi nggak usah pakai acara nongkrong segara yaa, kalau mau nongrong ke Ndoro Dongker aja, bisa ngeteh sambil lihat perkebunan teh gitu. 

We were full now! Then we would see a lake at Sarangan, ahay ! Jadi di kawasan wisata Sarangan itu ada danau yang sangat luas dan berada di antara barisan pegunungan. Setibanya disana langit biru telah perlahan berubah menjadi jingga. Senja - ketika matahari mulai terbenam diiringi kabut yang perlahan turun menyelimuti hutan pinus di seberang danau, indah banget pemandangannya. Udaranya juga seger banget. We really enjoyed relaxing there. And this was our last destination. It was a great trip and an unforgettable moment!


 Senin Gembira ; 
Sebuah perjalanan ke Candi Cetho, 
Candi Sukuh, Tawangmangu dan Sarangan di Hari Senin.



Seperti candi-candi di Bali ya?


Perkasa


Wohoo !


Masturbasi (?)

Danau Sarangan






Sabtu, 03 Agustus 2013

Embung Langgeran : Ketika Pagi Masih Muda !


Sebelumnya, kenalin dulu ya mainan baru saya, hitam legam, kecil dan berbahaya, yang pastinya mau nggak mau bakalan jadi teman setia saat backpackeran.




Canon Powershot G1 X. Ini adalah jenis kamera Prosumer, singkatan dari Profesional Consumer, pengertian bebasnya kamera dengan pemakaian yang mudah seperti kamera pocket tapi hasil jepretannya nggak kalah sama dslr. Kamera ini bener-bener buat saya jatuh cinta pada pandangan pertama #hasek. Selain kualitas gambar yang sangat bagus, kamera ini ringan dengan bentuk yang pas ketika di genggam, membuat akselerasi saya saat traveling semakin lincah dan gesit ! Hahaha.

Kamera ini cuma berbobot 390 gram, resolusi 14,2 mega pixel, flip-out screen jadi bisa ngambil gambar atau film dari berbagai sudut dan kalian bisa ngambil gambar dengan gaya sebebas mungkin, ngalahin gaya orang yang di foto malah. Trus bisa juga diatur ke modus manual buat di otak-atik exposure, ISO dan lain-lainnya, hebatnya lagi ini kamera bisa diatur ke modus tembus pandang !! Uulala ~ 

Sehari setelah kamera ini di beli, udah langsung saya perawanin. Saya bawa ke tempat yang sepi, sejuk, dan adem, tempatnya nggak jauh dari kota Jogja, sekitar 40 menit aja. Yap ! Embung Langgeran, salah satu tempat wisata yang masih baru di Gunung Kidul, satu kawasan sama Gunung Purba Nglanggeran. Tempat wisata ini diresmikan Februari 2013. Banyaknya gunung-gunung purba yang udah nggak aktif di daerah Gunung Kidul dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah setempat, mereka memotong bagian puncaknya dengan sedemikian rupa sehingga terbentuk lubang besar guna menampung air hujan. Air hujan di embung tersebut digunain sebagai sumber air bagi kebun buah di sekitarnya, seperti kebun durian dan kebun cokelat. 


"Sekarang sumber air su dekat, tong su tidak susah lagi cari-cari air buat siram tanaman. Tong pu tanaman sekarang su subur." Kata salah seorang warga kampung sini, iya asli sini.

Karena masih baru, tanaman disana pada belum berbuah. Jadi baru bisa lihat-lihat penampungan dan pemandangan sekitar. Saya dan teman-teman datang kesana ketika pagi masih muda, matahari masih belum sepenuhnya menampakkan rupanya. Dari atas embung saya melihat hutan-hutan masih diselimuti oleh kabut, membentuk gumpalan dan berjalan perlahan tertiup oleh angin menyerupai gulungan ombak, sempat kami mengira itu adalah laut selatan. Ketika mulai terang, embung mulai terlihat dengan jelas, seriusan, kerennya semena-mena ! Ini penampungan, tapi bentuknya kayak danau buatan gitu, air hujan tapi airnya bersih berwarna biru toska, nggak boleh berenang tapi menggoda banget buat nyebur. 

Saya saranin kalau datang kesana subuh-subuh, jam empat pagi berangkat dari Jogja, atau sore-sore sebelum matahari terbenam. Menurut saya waktu-waktu itu merupakan saat yg tepat untuk mendapatkan gambar dengan pecahayaan yang sempurna. Dan hasil lain dari jepretan canon powershot G1 X bisa dilihat disini, mari : Kumpulan Foto Embung Langgeran



Habis dari sana sekalian aja sempatin ke Gunung Purba Ngalanggeran, Gunung Purba yang purba banget! Ini artikelnya : Gunung Purba Nglanggeran itu Purba Banget !