Sekarang perjalanan darat bukan lagi satu-satunya cara mengunjungi Tana Toraja, dibukanya Bandara Pong Tiku di Rantetayo membuat wisatawan mempunyai alternatif lain menuju kesana melalui Bandara Internasional Hasanudin, Makassar. Susi Air membuka rute pernerbangannya tiga kali seminggu yaitu pada hari senin, rabu, dan sabtu. Sebenarnya ada keinginan untuk memcoba penerbangan ini, namun sepertinya tidak sekarang karena kami akan memperlihatkan ke Lintang, bagimana menariknya sepuluh jam perjalanan ke negeri orang mati yang hidup, Tana Toraja.
Meski aku sudah berulang kali menggunakan jalan darat, tapi tidak pernah merasakan yang namanya bosan, kalau lelah sudah pasti tapi bakal hilang dengan mudahnya kalau sudah tiba di kampung nenek. Karena nggak ada yang dikejar, kami selalu mampir ke tempat-tempat singgah favorit. Pertama, ada ikan bakar di pinggir jalan kalau kita sudah memasuki kabupaten Pangkep, ikan bandeng atau bolu yang dibakar dan disajikan dengan sop saudara, selain citarasanya yang juara, nuansa warung pangkep ini juga sangat tradisional. Habis makan siang, beberapa kilometer saja dari Pangkep kami singgah di kota Barru' untuk membeli jagung ketan, jagung rebus yang bentuknya kecil, manis dan imut dimakan dengan cara dicocol ke cabai dan garam. Bisa banyangin nggak rasanya ? Nano-nano di mulut ! Terakhir, jangan lupa mampir beli mantao di kota kelahiran bapak presiden BJ. Habibie, cocok banget untuk teman perjalanan atau oleh-oleh.
Selain kuliner yang sedap di mulut, kita juga bisa menikmati pemandangan alam yang tak kalah sedap dipandang mata. Bukit, rawa-rawa, perkampungan rumah panggung, pantai, dan last but not least - Gunung Nona. Gunung primadona yang menjadi tempat favorit wisatawan untuk beristirahat sejenak. Dari rest area yang terletak di Enrekang ini, Tana Toraja sudah sangat dekat. Lelah seperti hilang bersamaan turunnya kabut di Gunung Nona tiap kali menyadari kalau kurang lebih dua jam lagi kita akan sampai. Dari yang awalnya tertidur, sekarang kita semuanya terjaga, ngobrol ngalor-ngidul, kesempatan ini aku manfaatkan untuk menceritakan ke Lintang bagimana tersohornya nama Nenek Guling di kampungnya. "Nenek Guling itu kayak kepala suku, nggak pernah absen soal urusan upacara adat kematian dari satu kampung ke kampung lain, masih kuat jalan kaki, kalau haus minumnya bir hitam !" "Masak iya ?!" Tanya lintang dengan nada tanya dan tawa. "Beneran, kalau berdoa kayak orang kesurupan lho, macam pakai bahasa roh, yang tau cuma dia dan Tuhan." Tambahku yang buat Lintang malah ketawa dan semakin nggak percaya, dia anggap aku sedang berbual. "Kamu nih sukanya bohong-bohongin aku !"
Belum selesai kami bercerita soal Nenek Guling, tampak dari kejauhan sirine mengaung dengan lampu rotator yang menyilaukan mata. Siapa dia ?! The one and only ! Let me introduce my grandmother : Nenek Guling ! Jangankan Lintang, aku, papi dan mami pun geleng-geleng nggak habis pikir kalau nenek bakal menyambut kami pakai mobil polisi ! Seumur-umur kami ke kampung halaman, belum pernah dijemput nenek pakai mobil polisi. "Ini spesial untuk yang pertama kali datang ke rumah nenek, spesial untuk lintang !" Sambut beliau.
Tidak cukup disitu, kunjungan pertama Lintang ke rumah nenek pun disambut tarian yang sudah disiapkan oleh Nenek Guling. Luar baisa sekali, aku pun ikut senang karena nenek dan saudara-saudara yang lain menerima Lintang dengan hangat, sungguh menghangatkan dinginnya udara Tana Toraja malam itu."Kure' Sumanga', Nek." Ucap Lintang.
Aku rasa, karena semalam dia sempat
Kebayang nggak sih rasanya ngajak pacar ke kampung halaman untuk pertama kalinya ? Selain senang, aku juga cukup khawatir, karena rumah nenek yang akan kami kunjungi masih bena-benar plosok, rumahnya pun masih tradisional, udaranya dingin dan nggak ada air panas pastinya. Aku khawatir kalau Lintang nggak betah selama di rumah Nenek Guling. Syukurlah hal itu nggak terjadi, bahkan sebelum aku bertanya, dia sudah lebih dulu mengungkapkan perasaannya, "Wow. Cool !" Itu kata pertamanya di pagi pertama kami di rumah Nenek saat ku ajak dia melihat tongkonan dan pemandangan alam sekitar tempat tinggal nenek.
Pagi ini kami akan pergi ke beberapa tempat iconic di Tana Toraja untuk melakukan sesi foto prewedding. Bisa dibilang ini adalah rencana yang impulsif, kami tidak ada rencana untuk melakukan sesi foto disini sampai akhirnya satu hari sebelum keberangkatan ke Toraja dari Makassar, Papi menawarkan kesempatan ini. Setelah tawarannya kami setujui, papi langsung menghubungi teman-temannya, menanyakan salon dan fotographer di Toraja. Sesuai perkiraanku, nggak perlu waktu lama buat papi untuk mendapatkan jasa mereka. Tiga tempat yang akan kami jadikan lokasi prewedding adalah Tongkonan Buntu Pune', desa adat Kete' Kesu dan Lolai. Diluar ekseptasi kami, ternyata sesi foto ini sangat menyenangkan, karena kita juga sekalian berwisata menikmati indahnya alam Tana Toraja, suasana foto jadi lebih menyenangkan karena tidak hanya aku dan lintang yang difoto tapi mami, papi, nenek dan tante pun ikut-ikutan sibuk berposes dan minta difoto.
Tidak ada yang lebih bahagia selain mengetahui kalau Lintang enjoy selama di Toraja, apalagi mengamati reaksinya saat menangkap hal-hal unik yang baru pertama kali dia lihat, diantaranya saat dia menyadari bahwa selama perjalanan ternyata nenek Guling membawa bir hitam sebagai bekalnya, kaget saat melihat seekor babi besar dirantai dan diajak jalan-jalan sore oleh tuannya, dan bingung saat menjadi saksi bagaimana nenek berdoa dengan bahasa roh, "Gimana, benarkan kataku kemarin ?!" Kataku sambil tersenyum dan kunaikkan kedua alisku. Semoga aja Tuhan kasih umur panjang dan kesempatan lagi untuk mengunjungi rumah Nenek Gulng, semoga juga kami bisa mengajak papa mama Lintang kesini.
Kure' Sumanga'