25 Desember 2011
Mendarat juga di bandara Hasanuddin pukul 09.00 waktu
setempat. Dari Makassar saya akan melakukan perjalanan panjang selama kurang
lebih 10 jam melalui jalur darat sejauh 320 kilometer menuju Tana Toraja.
Perjalanan ke Toraja tidaklah mudah, jalannya berliku,
tebing dan jurang di samping kiri-kanan, belum lagi cuaca yang tidak menentu, jika stamina tidak kuat, tak jarang akan membuat kepala
serasa berputar-putar.
Sebelum memasuki Toraja, saya berhenti sejenak di sebuah rest area di
daerah kabupaten Enrekang, desa Bambapuang. Disini ada begitu banyak kedai kopi dan restauran yang
berbaris rapi di pinggir jalan, tak salah jika menjadi pilihan utama bagi
mereka untuk berhenti sejenak, beristirahat dan kemudian kembali melanjutkan
perjalanannya.
Di rest area ini saya juga disuguhkan pemandangan alam yang luar biasa
indah. Tepat di depan saya, terdapat deretan bukit nan hijau yang sangat
menyejukkan mata. Penduduk disini menyebutnya Gunung Nona, saya biarkan saja
tanya akan asal-usul nama gunung ini melayang-layang dipikiran saya, ditemani
secangkir kopi hangat, saya hanya perlu duduk manis sembari menghirup sejuknya
udara pengunungan, membuat lelah pergi entah kemana seiring turunnya kabut dari
atas bukit. Sungguh saya sangat menikmati kenyamanan ini.
Desa Balaba', Makale,
Toraja
Menurut data dari Stephen Juan, seorang
antropolog dari University of Sydney, ragam bahasa yang ada dunia ini berjumlah
6.800 bahasa, dan Indonesia memiliki 726 bahasa daerah yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari masyarakatnya.
Bisa-bisanya dalam satu planet, satu negara, satu
pulau, bahkan satu provinsi, yang hanya terpisah ratusan atau puluhan kilometer
jauhnya, bahasa terkadang menjadi hambatan dalam berkomunikasi, dan inilah satu
dari sekian banyak alasan yang membuat saya selalu bersemangat ketika melakukan
perjalanan, bahasa dan aksen bicara begitu menarik perhatian dalam setiap
tempat yang baru saya singgahi!
Seorang teman sesama backpacker asal Belgia telah
singgah di beberapa negara hingga akhirnya waktu mempertemukan dia dengan saya
di Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara yang sangat dingin hingga 4 derajat celcius,
membuat kami tak mempedulikan bahwa bahasa yang kami gunakan berbeda satu sama
lain. Dia menggunakan bahasa Inggris, sedangkan saya menggunakan bahasa
Inggris, Indonesia, dicampur dengan senyum, perpaduan yang pas hingga akhirnya
kami berteman akrab, mengajak dia ke Jogja dan menemani dia berkeliling kota
seharian penuh.
Situasi yang sama saya rasakan ketika tiba di desa kakek,
malam itu.
''Hahaa e.. hei.. ha ei.. ha.. hahaa e.. !!''
Kira-kira begitulah teriakkannya. Kemudian terdengar
teriakkan balasan dari orang yang entah siapa dan tidak tahu posisi pastinya
dimana. Ini adalah teriakkan khas orang Toraja yang tinggal di daerah pedesaan.
Teriakkan ini dikenal dengan nama Meoli.
Beberapa orang saling berteriak untuk menyambut
kerabat yang datang berkunjung. Suaranya begitu keras, dengan tekanan di awal
dan pekikkan panjang di akhirnya. Sungguh sambutan yang unik dan sangat
menghangatkan. *Don't try this at home
ya, kalau nggak mau orang perumahan bangun dan marah-marah!*
Beberapa saat kemudian beberapa saudara datang
menghampiri kami, saling berpelukkan dan mengucap rindu satu dengan yang lain.
Kemudian kami berjalan beberapa kilometer lagi menuju rumah Kakek. Disini masih
suasana pedesaan sekali, tidak ada penerangan jalan, jalanannya juga masih
tanah, dengan banyak pohon bambu.
Rumah kakek berbentuk rumah panggung. Hanya ada dua
kamar tidur, sisanya ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan dan
terhubung lansung dengan dapur, berlantaikan kayu dan berdinding ayaman rotan,
tak jarang angin akan berhembus masuk melalui celah-celahnya.
Bersama ayah, saya ikut duduk bersama saudara-saudara.
Ditemani ballo' atau tuak kami bercerita mengakrabakan diri dengan satu bahasa
yang sampai sekarang tidak saya kuasai. Bahasa Toraja! Ini aneh, saya tidak
mengerti bahasa yang mereka ucapkan, namun saya seakan mengiyakan apa yang
mereka katakan. Entah bagaimana prosesnya, tetapi ketika seorang dari kami
tertawa, saya juga ikut tertawa, seakan tahu apa yang mereka tertawakan!
Mungkinkah ini yang disebut bahasa dunia oleh Paulo
Coelho dalam The Alchemist? Untuk menguasai bahasa dunia hanya dibutuhkan satu
hal, keberanian untuk memahami.
26 Desenber 2011
Good morning, rise and shine! Selamat pagi, Tana Toraja!
Tadi malam saya tiba di tempat ini ketika matahari
sudah kembali ke peraduaanya. Jalan di desa tempat kakek tinggal tidak ada
penerangan sama sekali, selain cahaya lampu dari rumah penduduk, itu pun sudah
redup, mungkin karena terlalu setia dengan waktu. Alhasil mata di
dominasi oleh gelap.
Namun itulah malam, selalu menyembunyikan dan hanya
bisa ditemukan oleh mereka yang bangun lebih awal. Sungguh, pagi disini terasa
sangat istimewa! Sayup-sayup terdengar alunan musik bambu yang dibawakan oleh
angin, bau tanah hasil guyuran hujan semalam, belum lagi aroma kandang babi
yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah!
Kebetulan pagi ini, kami akan mengadakan acara Natal
Keluarga, acara sederhana yang kami selenggarakan di sebuah halaman yang
terletak dibawah rumah panggung. Setelah acara kebaktian selesai, kami
melanjutkan acara makan bersama, acara yang paling saya tunggu-tunggu nih!
Berbagai macam makanan dan minuman khas Toraja
tersaji, bagi saya yang paling spesial tentu Pa'piong dan Ballo'. Sudah lama
banget nggak merasakan makanan ini! *Sikat Jhon!*
Oia, ada yang unik dari makanan dan minuman ini,
keduanya menggunakan bambu sebagai tempat memasak dan menyajikan, alasannya
karena bambu disini besar-besar dan tinggi, sehingga memiliki diameter yang
besar pula.
Pa'piong itu makanan berupa daging babi. Cara
memasaknya menggunakan bambu. Daging yang sudah dipotong-potong di campur
dengan sayur sarre nako (begitu mereka menyebut sayur yang tidak saya ketahui
namanya dalam bahasa Indonesia), ditambah darah babi, dan dimasukkan ke dalam
bambu untuk kemudian dibakar hingga matang.
Sedangkan Ballo' adalah minuman dari fermentasi pohon
nira. Minuman ini serupa dengan tuak Medan, hanya saja rasanya tidak terlalu
kecut. Ballo' biasa disajikan didalam bambu, dan diminum ketika ada acara-acara
tertentu.
Dan acara keluarga hari ini kami meriahkan dengan
bermain baratung! Baratung adalah permainan unik anak-anak di pedesaan.
Permainan ini juga menggunakan bambu sebagai bahan utamanya. Beberapa ruas
bambu dipotong, diberi lubang kecil pada bagian ujungnya sebagi tempat menaruh
minyak tanah, kemudian dipanaskan dengan api terlebih dahulu.
Setelah bambu dipanaskan, arahkan api kecil ke dalam
lubang untuk memberi efek suara. Duaaarrr.. !! Perang pun dimulai.. !!
Senang bisa kembali merasakan situasi semacam ini.
Kembali dipertemukan dengan sanak family. Kembali diberi kesempatan untuk
berbincang, bercanda, bermain, dan saling mengekspresikan kegembiraan. Situasi
yang selalu memberi kenangan dan rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar