Senin, 10 Desember 2012
Minggu, 02 Desember 2012
Tana Toraja : Negeri Orang Mati yang Hidup
27 Desember 2011
Dengan
sedikit melompat saya turun dari mobil. Semalaman hujan mengguyur, sehingga
sebagian jalan tergenang oleh air hujan, apalagi jalannya masih tanah, jadi
solusi terbaik adalah berjalan tanpa alasan kaki.
Hari ini
kami berkunjung ke rumah nenek untuk menghadiri kebaktian Natal dan pemberkatan
Tongkonan atau yang biasa disebut dengan Rambu Tuka'. Oia, sudah tahu belum
Tongkonan itu apa?
Tongkonan
itu rumah adat khas Tana Toraja. Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung,
berpondasi kayu, dan atapnya berbahan bambu yang tersusun rapi membentuk
seperti perahu.
Di dalam
Tongkonan ini hanya terdiri dari ruang yang di fungsikan untuk menyambut tamu,
ruang kamar tidur, dan terhubung langsung dengan ruang yang difungsikan sebagai
dapur. Tepat di depan Tongkonan utama terdapat lima buah Tongkonan yang
berfungsi sebagai tempat menyimpan padi.
Seperti
Tongkonan pada umumnya, Tongkonan ini juga dihiasi oleh ukiran-ukiran pada
bagian dindingnya dengan di dominasi warna merah dan hitam. Sedangkan di
depannya tedapat tanduk kerbau dan lambang seekor ayam.
Nah,
lambang-lambang yang menghiasi Tongkonan itu memiliki makna dan arti tersendiri
lho.. Lambang seekor ayam mememiliki makna ketangguhan dalam menjalani
kehidupan dan tanduk kerbau mengartikan berapa banyak upacara adat yang
diselenggarakan oleh pihak keluarga, selain itu menjadi simbol tingkat sosial
masyarakat Toraja.
Jika ke
Toraja coba sempatkan untuk berkunjung ke Kete' Kesu. Di perumahan adat Toraja
tersebut terdapat puluhan Tongkonan yang usianya sudah ratusan tahun. Disana
kita akan melihat banyak sekali tanduk kerbau yang menghiasi bagian depan
Tongkonan. Nggak kebayang udah berapa banyak upacara adat yang diadakan dan
berapa ratus ekor kerbau yang sudah di sembelih!
Upacara
adat kematian dan upacara syukur memang melekat dengan masyarakat Tana Toraja.
Dan untuk mengadakan upacara tersebut tentu membutuhkan biaya yang sangat
besar. Selesai mengikuti acara di rumah nenek, saya mendapat kabar kalau ada
salah seorang anggota keluarga yang sudah meninggal namun belum di kuburkan.
Karena penasaran saya pun bergegas munuju kesana.
Rumahnya
tidak jauh dari rumah nenek, kira-kira hanya butuh sepuluh menit dengan
berjalan kaki. Sesampainya disana saya disambut oleh puluhan anak kecil yang
berhamburan keluar dari dalam rumah, buset dah ternyata saudara saya di kampung
buanyak buanget!! Hahaha.
Saat masuk
ke dalam rumah saya tidak henti-hentinya mengucap kata permisi dan memanjatkan
doa. Gilak! Sudah kesekian kali saya ke Toraja. Tapi ini adalah kali pertama
mendapat kesempatan melihat orang yang meninggal sudah enam bulan lalu, tapi
belum dikubur sampai sekarang!
Perasaan
khawatir mulai menyelimuti, tapi rasa penasaran jauh lebih dominan saat itu,
dan seketika bau busuk terhirup oleh hidung! Ciat.. ciat.. ciat.. Dengan jelas
saya melihat mayat berbaring di atas kasur! Berbusana serba hitam dan lengkap
dengan pernak-perniknya. Wajahnya berwarna putih pucat, dan sekujur tubuhnya
nampak sangat kaku. *Hiii, serem!
''Hoey
nenek, ampomu datang dari Jogja'' Setelah tante saya mengucapkan kata itu,
seketika bau busuk tak tercium lagi. Kata tante bau busuk itu sebagai tanda
kalau orang yang telah meninggal menyambut baik kedatangan saya. Hmm..
entahlah.
Orang
Toraja percaya, bahwa setiap orang pasti pernah berbuat baik di masa hidupnya,
sehingga penghormatan berupa upacara adat kematian yang dikenal dengan nama
Rambu solo' perlu diadakan. Itulah alasan nenek ini belum dikubur. Terlebih
dahulu keluarga harus musyawarah dan mempersiapkannya dengan matang. Setelah
upacara adat di selenggarakan, barulah mayat tersebut dikuburkan ke dalam rumah
pemakaman yang disebut Pa Tani.
28 Desember 2011
Setelah
kemarin mengikuti rangkain acara di rumah nenek dan berkesempatan melihat mayat
yang belum dikubur, hari ini saya akan melihat langsung upacara adat
kematiannya.
Dari sebuah
informasi, ternyata di hari ini berlangsung empat upacara ada kematian di
berbagai desa dengan rangkaian upacara yang berbeda pula. Artinya saya
mempunyai kesempatan untuk melihat beberapa rangkaian upacara adat hanya dalam
satu hari saja. How lucky i am!
Rangkaian
upacara adat pertama yang saya lihat adalah Ma'pasilaga tedong atau adu kerbau.
Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan dengan pagar bambu setinggi satu
meter sebagai pagar pembatasnya. Di lapangan yang cukup luas inilah, satu demi satu
kerabu di adu kekuatannya. Dua ekor kerbau akan saling bertabrakan, mengadu
kepala, dan berusaha saling membanting dengan kedua tanduknya. Penonton pun
sontak berteriak kegirangan sembari melompat-lompat ketika kerbau jagoannya
berhasil memukul mundur lawannya.
Ketegangan
tidak sampai disitu saja. Kerbau yang kalah biasanya akan ngacir tak tentu arah, saat seperti itulah
suasana menjadi sangat heboh, ribuan orang berhamburan menghindari kerbau. Tak
jarang ada yang terkena seruduk tanduk kerbau atau jatuh di parit. Serulah
pokoknya!
Namun ada
juga rangkaian upacara adat yang membuat rasa menjadi ngilu. Ketika saya
melihat ratusan ekor kerbau dan babi disembelih secara kolosal oleh para
penjagal.
Banyaknya
kerbau dan babi yang sembilih ini tergantung dari strata sosial keluarga
tersebut. Biasanya ada juga kerabat keluarga yang ikut menyumbangkan kerbau
maupun babi dalam upacara adat ini. Dan luar biasanya, upacara adat ini bisa
berlangsung hingga satu minggu lamanya dan menghabiskan dana hingga Milyaran
rupiah!
Tidak salah
jika Tana Toraja mendapat julukan sebagai negeri orang mati yang hidup. Tana
Toraja memiliki kebudayaan yang syarat akan makna. Sebagian besar tempat
wisatanya pun memamerkan cara pemakaman unik di masa lampau yang masih terjaga
hingga sekarang. Belum lagi pemandangan alam pedesaan dan bukit-bukit hijau
yang luar biasa indah. Tetaplah lestari Tana Toraja!
Lesson from the road:
- Iklim di Tana Toraja lumayan dingin saat malam hari dan curah hujan cukup tinggi. Tanggal dilaksanakannya upacara adat kematian di Tana Toraja memang tidak pasti, ada baiknya mencari informasi terlebih dahulu melalui mesin pencari informasi di dunia maya.
- Tidak jarang upacara adat kematian di Tana Toraja diadakan pada akhir bulan Desember.
- Selain itu pada bulan Desember di Tana Toraja juga berlangsung event pariwisata Lovely December yang menampilkan berbagai macam kegiatan seni dan budaya.
How to get there:
- Bandara di Tana Toraja: Bandar Udara Pongtiku. Berangkat dari Bandar Udara Internasional Hasanuddin Makassar (UPG) yang memiliki jadwal penerbangan satu kali sehari pada hari Selasa dan Jumat, dengan menggunakan pesawat jenis CASSA.
- Menggunakan jasa travel atau bus dari kota Makassar menuju Rantepao.
- Cara terbaik untuk berkeliling kota adalah dengan menyewa mobil atau motor.
To do list:
Batutumonga. Berlokasi di gunung Sesean yang beriklim dingin. Ditempat ini kita dapat melihat hamparan sawah, hijaunya pohon pinus dan kota Ratepao dari ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Sayangnya jalan menuju Batutumonga banyak yang rusak, dan belum ada pembatas sisi jalan yang memadai padahal terdapat jurang dan tebing yang sewaktu-waktu dapat longsor, karenanya dituntut ekstra hati-hati ketika hendak menuju ketempat ini.
Lo'ko Mata. Lokasinya tidak jauh dari Batutumonga, berada di lereng gunung Sesean. Disini terdapat batu alam berbentuk bulat besar besar, menyerupai kepala manusia dan di jadikan sebagai kuburan bagi masyarakat setempat.
Kambira. Ketika dahulu masyarakat di Tana Toraja belum mengenal agama, seorang yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan dikubur kedalam pohon dari jenis pohon Tarra. Pohon yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar 300 tahun yang lalu.
Londa dan Lemo. Merupakan tempat penguburan dinding berbatu dan terdapat patung-patung manusia menyerupai orang yang dikubur ditempat tersebut. Meski di dalam goa sangat banyak peti mati dan tulang belulang, uniknya saya tidak mencium bau sedikit pun. Didalam goa Londa terdapat sepasang mayat yang konon bunuh diri karena hubungannya tidak direstui oleh kedua orang tua.
Kete' Kesu. Merupakan kompleks perumahan adat Tana Toraja yang masih asli. Disana terdapat Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi).
Batutumonga. Berlokasi di gunung Sesean yang beriklim dingin. Ditempat ini kita dapat melihat hamparan sawah, hijaunya pohon pinus dan kota Ratepao dari ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Sayangnya jalan menuju Batutumonga banyak yang rusak, dan belum ada pembatas sisi jalan yang memadai padahal terdapat jurang dan tebing yang sewaktu-waktu dapat longsor, karenanya dituntut ekstra hati-hati ketika hendak menuju ketempat ini.
Lo'ko Mata. Lokasinya tidak jauh dari Batutumonga, berada di lereng gunung Sesean. Disini terdapat batu alam berbentuk bulat besar besar, menyerupai kepala manusia dan di jadikan sebagai kuburan bagi masyarakat setempat.
Kambira. Ketika dahulu masyarakat di Tana Toraja belum mengenal agama, seorang yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan dikubur kedalam pohon dari jenis pohon Tarra. Pohon yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar 300 tahun yang lalu.
Londa dan Lemo. Merupakan tempat penguburan dinding berbatu dan terdapat patung-patung manusia menyerupai orang yang dikubur ditempat tersebut. Meski di dalam goa sangat banyak peti mati dan tulang belulang, uniknya saya tidak mencium bau sedikit pun. Didalam goa Londa terdapat sepasang mayat yang konon bunuh diri karena hubungannya tidak direstui oleh kedua orang tua.
Kete' Kesu. Merupakan kompleks perumahan adat Tana Toraja yang masih asli. Disana terdapat Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi).
Selamat Pagi, Tana Toraja !
25 Desember 2011
Mendarat juga di bandara Hasanuddin pukul 09.00 waktu
setempat. Dari Makassar saya akan melakukan perjalanan panjang selama kurang
lebih 10 jam melalui jalur darat sejauh 320 kilometer menuju Tana Toraja.
Perjalanan ke Toraja tidaklah mudah, jalannya berliku,
tebing dan jurang di samping kiri-kanan, belum lagi cuaca yang tidak menentu, jika stamina tidak kuat, tak jarang akan membuat kepala
serasa berputar-putar.
Sebelum memasuki Toraja, saya berhenti sejenak di sebuah rest area di
daerah kabupaten Enrekang, desa Bambapuang. Disini ada begitu banyak kedai kopi dan restauran yang
berbaris rapi di pinggir jalan, tak salah jika menjadi pilihan utama bagi
mereka untuk berhenti sejenak, beristirahat dan kemudian kembali melanjutkan
perjalanannya.
Di rest area ini saya juga disuguhkan pemandangan alam yang luar biasa
indah. Tepat di depan saya, terdapat deretan bukit nan hijau yang sangat
menyejukkan mata. Penduduk disini menyebutnya Gunung Nona, saya biarkan saja
tanya akan asal-usul nama gunung ini melayang-layang dipikiran saya, ditemani
secangkir kopi hangat, saya hanya perlu duduk manis sembari menghirup sejuknya
udara pengunungan, membuat lelah pergi entah kemana seiring turunnya kabut dari
atas bukit. Sungguh saya sangat menikmati kenyamanan ini.
Desa Balaba', Makale,
Toraja
Menurut data dari Stephen Juan, seorang
antropolog dari University of Sydney, ragam bahasa yang ada dunia ini berjumlah
6.800 bahasa, dan Indonesia memiliki 726 bahasa daerah yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari masyarakatnya.
Bisa-bisanya dalam satu planet, satu negara, satu
pulau, bahkan satu provinsi, yang hanya terpisah ratusan atau puluhan kilometer
jauhnya, bahasa terkadang menjadi hambatan dalam berkomunikasi, dan inilah satu
dari sekian banyak alasan yang membuat saya selalu bersemangat ketika melakukan
perjalanan, bahasa dan aksen bicara begitu menarik perhatian dalam setiap
tempat yang baru saya singgahi!
Seorang teman sesama backpacker asal Belgia telah
singgah di beberapa negara hingga akhirnya waktu mempertemukan dia dengan saya
di Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara yang sangat dingin hingga 4 derajat celcius,
membuat kami tak mempedulikan bahwa bahasa yang kami gunakan berbeda satu sama
lain. Dia menggunakan bahasa Inggris, sedangkan saya menggunakan bahasa
Inggris, Indonesia, dicampur dengan senyum, perpaduan yang pas hingga akhirnya
kami berteman akrab, mengajak dia ke Jogja dan menemani dia berkeliling kota
seharian penuh.
Situasi yang sama saya rasakan ketika tiba di desa kakek,
malam itu.
''Hahaa e.. hei.. ha ei.. ha.. hahaa e.. !!''
Kira-kira begitulah teriakkannya. Kemudian terdengar
teriakkan balasan dari orang yang entah siapa dan tidak tahu posisi pastinya
dimana. Ini adalah teriakkan khas orang Toraja yang tinggal di daerah pedesaan.
Teriakkan ini dikenal dengan nama Meoli.
Beberapa orang saling berteriak untuk menyambut
kerabat yang datang berkunjung. Suaranya begitu keras, dengan tekanan di awal
dan pekikkan panjang di akhirnya. Sungguh sambutan yang unik dan sangat
menghangatkan. *Don't try this at home
ya, kalau nggak mau orang perumahan bangun dan marah-marah!*
Beberapa saat kemudian beberapa saudara datang
menghampiri kami, saling berpelukkan dan mengucap rindu satu dengan yang lain.
Kemudian kami berjalan beberapa kilometer lagi menuju rumah Kakek. Disini masih
suasana pedesaan sekali, tidak ada penerangan jalan, jalanannya juga masih
tanah, dengan banyak pohon bambu.
Rumah kakek berbentuk rumah panggung. Hanya ada dua
kamar tidur, sisanya ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan dan
terhubung lansung dengan dapur, berlantaikan kayu dan berdinding ayaman rotan,
tak jarang angin akan berhembus masuk melalui celah-celahnya.
Bersama ayah, saya ikut duduk bersama saudara-saudara.
Ditemani ballo' atau tuak kami bercerita mengakrabakan diri dengan satu bahasa
yang sampai sekarang tidak saya kuasai. Bahasa Toraja! Ini aneh, saya tidak
mengerti bahasa yang mereka ucapkan, namun saya seakan mengiyakan apa yang
mereka katakan. Entah bagaimana prosesnya, tetapi ketika seorang dari kami
tertawa, saya juga ikut tertawa, seakan tahu apa yang mereka tertawakan!
Mungkinkah ini yang disebut bahasa dunia oleh Paulo
Coelho dalam The Alchemist? Untuk menguasai bahasa dunia hanya dibutuhkan satu
hal, keberanian untuk memahami.
26 Desenber 2011
Good morning, rise and shine! Selamat pagi, Tana Toraja!
Tadi malam saya tiba di tempat ini ketika matahari
sudah kembali ke peraduaanya. Jalan di desa tempat kakek tinggal tidak ada
penerangan sama sekali, selain cahaya lampu dari rumah penduduk, itu pun sudah
redup, mungkin karena terlalu setia dengan waktu. Alhasil mata di
dominasi oleh gelap.
Namun itulah malam, selalu menyembunyikan dan hanya
bisa ditemukan oleh mereka yang bangun lebih awal. Sungguh, pagi disini terasa
sangat istimewa! Sayup-sayup terdengar alunan musik bambu yang dibawakan oleh
angin, bau tanah hasil guyuran hujan semalam, belum lagi aroma kandang babi
yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah!
Kebetulan pagi ini, kami akan mengadakan acara Natal
Keluarga, acara sederhana yang kami selenggarakan di sebuah halaman yang
terletak dibawah rumah panggung. Setelah acara kebaktian selesai, kami
melanjutkan acara makan bersama, acara yang paling saya tunggu-tunggu nih!
Berbagai macam makanan dan minuman khas Toraja
tersaji, bagi saya yang paling spesial tentu Pa'piong dan Ballo'. Sudah lama
banget nggak merasakan makanan ini! *Sikat Jhon!*
Oia, ada yang unik dari makanan dan minuman ini,
keduanya menggunakan bambu sebagai tempat memasak dan menyajikan, alasannya
karena bambu disini besar-besar dan tinggi, sehingga memiliki diameter yang
besar pula.
Pa'piong itu makanan berupa daging babi. Cara
memasaknya menggunakan bambu. Daging yang sudah dipotong-potong di campur
dengan sayur sarre nako (begitu mereka menyebut sayur yang tidak saya ketahui
namanya dalam bahasa Indonesia), ditambah darah babi, dan dimasukkan ke dalam
bambu untuk kemudian dibakar hingga matang.
Sedangkan Ballo' adalah minuman dari fermentasi pohon
nira. Minuman ini serupa dengan tuak Medan, hanya saja rasanya tidak terlalu
kecut. Ballo' biasa disajikan didalam bambu, dan diminum ketika ada acara-acara
tertentu.
Dan acara keluarga hari ini kami meriahkan dengan
bermain baratung! Baratung adalah permainan unik anak-anak di pedesaan.
Permainan ini juga menggunakan bambu sebagai bahan utamanya. Beberapa ruas
bambu dipotong, diberi lubang kecil pada bagian ujungnya sebagi tempat menaruh
minyak tanah, kemudian dipanaskan dengan api terlebih dahulu.
Setelah bambu dipanaskan, arahkan api kecil ke dalam
lubang untuk memberi efek suara. Duaaarrr.. !! Perang pun dimulai.. !!
Senang bisa kembali merasakan situasi semacam ini.
Kembali dipertemukan dengan sanak family. Kembali diberi kesempatan untuk
berbincang, bercanda, bermain, dan saling mengekspresikan kegembiraan. Situasi
yang selalu memberi kenangan dan rindu.
Langganan:
Postingan (Atom)