Senin, 10 Desember 2012
Minggu, 02 Desember 2012
Tana Toraja : Negeri Orang Mati yang Hidup
27 Desember 2011
Dengan
sedikit melompat saya turun dari mobil. Semalaman hujan mengguyur, sehingga
sebagian jalan tergenang oleh air hujan, apalagi jalannya masih tanah, jadi
solusi terbaik adalah berjalan tanpa alasan kaki.
Hari ini
kami berkunjung ke rumah nenek untuk menghadiri kebaktian Natal dan pemberkatan
Tongkonan atau yang biasa disebut dengan Rambu Tuka'. Oia, sudah tahu belum
Tongkonan itu apa?
Tongkonan
itu rumah adat khas Tana Toraja. Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung,
berpondasi kayu, dan atapnya berbahan bambu yang tersusun rapi membentuk
seperti perahu.
Di dalam
Tongkonan ini hanya terdiri dari ruang yang di fungsikan untuk menyambut tamu,
ruang kamar tidur, dan terhubung langsung dengan ruang yang difungsikan sebagai
dapur. Tepat di depan Tongkonan utama terdapat lima buah Tongkonan yang
berfungsi sebagai tempat menyimpan padi.
Seperti
Tongkonan pada umumnya, Tongkonan ini juga dihiasi oleh ukiran-ukiran pada
bagian dindingnya dengan di dominasi warna merah dan hitam. Sedangkan di
depannya tedapat tanduk kerbau dan lambang seekor ayam.
Nah,
lambang-lambang yang menghiasi Tongkonan itu memiliki makna dan arti tersendiri
lho.. Lambang seekor ayam mememiliki makna ketangguhan dalam menjalani
kehidupan dan tanduk kerbau mengartikan berapa banyak upacara adat yang
diselenggarakan oleh pihak keluarga, selain itu menjadi simbol tingkat sosial
masyarakat Toraja.
Jika ke
Toraja coba sempatkan untuk berkunjung ke Kete' Kesu. Di perumahan adat Toraja
tersebut terdapat puluhan Tongkonan yang usianya sudah ratusan tahun. Disana
kita akan melihat banyak sekali tanduk kerbau yang menghiasi bagian depan
Tongkonan. Nggak kebayang udah berapa banyak upacara adat yang diadakan dan
berapa ratus ekor kerbau yang sudah di sembelih!
Upacara
adat kematian dan upacara syukur memang melekat dengan masyarakat Tana Toraja.
Dan untuk mengadakan upacara tersebut tentu membutuhkan biaya yang sangat
besar. Selesai mengikuti acara di rumah nenek, saya mendapat kabar kalau ada
salah seorang anggota keluarga yang sudah meninggal namun belum di kuburkan.
Karena penasaran saya pun bergegas munuju kesana.
Rumahnya
tidak jauh dari rumah nenek, kira-kira hanya butuh sepuluh menit dengan
berjalan kaki. Sesampainya disana saya disambut oleh puluhan anak kecil yang
berhamburan keluar dari dalam rumah, buset dah ternyata saudara saya di kampung
buanyak buanget!! Hahaha.
Saat masuk
ke dalam rumah saya tidak henti-hentinya mengucap kata permisi dan memanjatkan
doa. Gilak! Sudah kesekian kali saya ke Toraja. Tapi ini adalah kali pertama
mendapat kesempatan melihat orang yang meninggal sudah enam bulan lalu, tapi
belum dikubur sampai sekarang!
Perasaan
khawatir mulai menyelimuti, tapi rasa penasaran jauh lebih dominan saat itu,
dan seketika bau busuk terhirup oleh hidung! Ciat.. ciat.. ciat.. Dengan jelas
saya melihat mayat berbaring di atas kasur! Berbusana serba hitam dan lengkap
dengan pernak-perniknya. Wajahnya berwarna putih pucat, dan sekujur tubuhnya
nampak sangat kaku. *Hiii, serem!
''Hoey
nenek, ampomu datang dari Jogja'' Setelah tante saya mengucapkan kata itu,
seketika bau busuk tak tercium lagi. Kata tante bau busuk itu sebagai tanda
kalau orang yang telah meninggal menyambut baik kedatangan saya. Hmm..
entahlah.
Orang
Toraja percaya, bahwa setiap orang pasti pernah berbuat baik di masa hidupnya,
sehingga penghormatan berupa upacara adat kematian yang dikenal dengan nama
Rambu solo' perlu diadakan. Itulah alasan nenek ini belum dikubur. Terlebih
dahulu keluarga harus musyawarah dan mempersiapkannya dengan matang. Setelah
upacara adat di selenggarakan, barulah mayat tersebut dikuburkan ke dalam rumah
pemakaman yang disebut Pa Tani.
28 Desember 2011
Setelah
kemarin mengikuti rangkain acara di rumah nenek dan berkesempatan melihat mayat
yang belum dikubur, hari ini saya akan melihat langsung upacara adat
kematiannya.
Dari sebuah
informasi, ternyata di hari ini berlangsung empat upacara ada kematian di
berbagai desa dengan rangkaian upacara yang berbeda pula. Artinya saya
mempunyai kesempatan untuk melihat beberapa rangkaian upacara adat hanya dalam
satu hari saja. How lucky i am!
Rangkaian
upacara adat pertama yang saya lihat adalah Ma'pasilaga tedong atau adu kerbau.
Ribuan orang berkumpul di sebuah lapangan dengan pagar bambu setinggi satu
meter sebagai pagar pembatasnya. Di lapangan yang cukup luas inilah, satu demi satu
kerabu di adu kekuatannya. Dua ekor kerbau akan saling bertabrakan, mengadu
kepala, dan berusaha saling membanting dengan kedua tanduknya. Penonton pun
sontak berteriak kegirangan sembari melompat-lompat ketika kerbau jagoannya
berhasil memukul mundur lawannya.
Ketegangan
tidak sampai disitu saja. Kerbau yang kalah biasanya akan ngacir tak tentu arah, saat seperti itulah
suasana menjadi sangat heboh, ribuan orang berhamburan menghindari kerbau. Tak
jarang ada yang terkena seruduk tanduk kerbau atau jatuh di parit. Serulah
pokoknya!
Namun ada
juga rangkaian upacara adat yang membuat rasa menjadi ngilu. Ketika saya
melihat ratusan ekor kerbau dan babi disembelih secara kolosal oleh para
penjagal.
Banyaknya
kerbau dan babi yang sembilih ini tergantung dari strata sosial keluarga
tersebut. Biasanya ada juga kerabat keluarga yang ikut menyumbangkan kerbau
maupun babi dalam upacara adat ini. Dan luar biasanya, upacara adat ini bisa
berlangsung hingga satu minggu lamanya dan menghabiskan dana hingga Milyaran
rupiah!
Tidak salah
jika Tana Toraja mendapat julukan sebagai negeri orang mati yang hidup. Tana
Toraja memiliki kebudayaan yang syarat akan makna. Sebagian besar tempat
wisatanya pun memamerkan cara pemakaman unik di masa lampau yang masih terjaga
hingga sekarang. Belum lagi pemandangan alam pedesaan dan bukit-bukit hijau
yang luar biasa indah. Tetaplah lestari Tana Toraja!
Lesson from the road:
- Iklim di Tana Toraja lumayan dingin saat malam hari dan curah hujan cukup tinggi. Tanggal dilaksanakannya upacara adat kematian di Tana Toraja memang tidak pasti, ada baiknya mencari informasi terlebih dahulu melalui mesin pencari informasi di dunia maya.
- Tidak jarang upacara adat kematian di Tana Toraja diadakan pada akhir bulan Desember.
- Selain itu pada bulan Desember di Tana Toraja juga berlangsung event pariwisata Lovely December yang menampilkan berbagai macam kegiatan seni dan budaya.
How to get there:
- Bandara di Tana Toraja: Bandar Udara Pongtiku. Berangkat dari Bandar Udara Internasional Hasanuddin Makassar (UPG) yang memiliki jadwal penerbangan satu kali sehari pada hari Selasa dan Jumat, dengan menggunakan pesawat jenis CASSA.
- Menggunakan jasa travel atau bus dari kota Makassar menuju Rantepao.
- Cara terbaik untuk berkeliling kota adalah dengan menyewa mobil atau motor.
To do list:
Batutumonga. Berlokasi di gunung Sesean yang beriklim dingin. Ditempat ini kita dapat melihat hamparan sawah, hijaunya pohon pinus dan kota Ratepao dari ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Sayangnya jalan menuju Batutumonga banyak yang rusak, dan belum ada pembatas sisi jalan yang memadai padahal terdapat jurang dan tebing yang sewaktu-waktu dapat longsor, karenanya dituntut ekstra hati-hati ketika hendak menuju ketempat ini.
Lo'ko Mata. Lokasinya tidak jauh dari Batutumonga, berada di lereng gunung Sesean. Disini terdapat batu alam berbentuk bulat besar besar, menyerupai kepala manusia dan di jadikan sebagai kuburan bagi masyarakat setempat.
Kambira. Ketika dahulu masyarakat di Tana Toraja belum mengenal agama, seorang yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan dikubur kedalam pohon dari jenis pohon Tarra. Pohon yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar 300 tahun yang lalu.
Londa dan Lemo. Merupakan tempat penguburan dinding berbatu dan terdapat patung-patung manusia menyerupai orang yang dikubur ditempat tersebut. Meski di dalam goa sangat banyak peti mati dan tulang belulang, uniknya saya tidak mencium bau sedikit pun. Didalam goa Londa terdapat sepasang mayat yang konon bunuh diri karena hubungannya tidak direstui oleh kedua orang tua.
Kete' Kesu. Merupakan kompleks perumahan adat Tana Toraja yang masih asli. Disana terdapat Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi).
Batutumonga. Berlokasi di gunung Sesean yang beriklim dingin. Ditempat ini kita dapat melihat hamparan sawah, hijaunya pohon pinus dan kota Ratepao dari ketinggian 1300 meter di atas permukaan laut. Sayangnya jalan menuju Batutumonga banyak yang rusak, dan belum ada pembatas sisi jalan yang memadai padahal terdapat jurang dan tebing yang sewaktu-waktu dapat longsor, karenanya dituntut ekstra hati-hati ketika hendak menuju ketempat ini.
Lo'ko Mata. Lokasinya tidak jauh dari Batutumonga, berada di lereng gunung Sesean. Disini terdapat batu alam berbentuk bulat besar besar, menyerupai kepala manusia dan di jadikan sebagai kuburan bagi masyarakat setempat.
Kambira. Ketika dahulu masyarakat di Tana Toraja belum mengenal agama, seorang yang belum tumbuh gigi apabila meninggal dunia akan dikubur kedalam pohon dari jenis pohon Tarra. Pohon yang digunakan dilokasi ini telah berumur sekitar 300 tahun yang lalu.
Londa dan Lemo. Merupakan tempat penguburan dinding berbatu dan terdapat patung-patung manusia menyerupai orang yang dikubur ditempat tersebut. Meski di dalam goa sangat banyak peti mati dan tulang belulang, uniknya saya tidak mencium bau sedikit pun. Didalam goa Londa terdapat sepasang mayat yang konon bunuh diri karena hubungannya tidak direstui oleh kedua orang tua.
Kete' Kesu. Merupakan kompleks perumahan adat Tana Toraja yang masih asli. Disana terdapat Tongkonan, lengkap dengan Alang Sura' (lumbung padi).
Selamat Pagi, Tana Toraja !
25 Desember 2011
Mendarat juga di bandara Hasanuddin pukul 09.00 waktu
setempat. Dari Makassar saya akan melakukan perjalanan panjang selama kurang
lebih 10 jam melalui jalur darat sejauh 320 kilometer menuju Tana Toraja.
Perjalanan ke Toraja tidaklah mudah, jalannya berliku,
tebing dan jurang di samping kiri-kanan, belum lagi cuaca yang tidak menentu, jika stamina tidak kuat, tak jarang akan membuat kepala
serasa berputar-putar.
Sebelum memasuki Toraja, saya berhenti sejenak di sebuah rest area di
daerah kabupaten Enrekang, desa Bambapuang. Disini ada begitu banyak kedai kopi dan restauran yang
berbaris rapi di pinggir jalan, tak salah jika menjadi pilihan utama bagi
mereka untuk berhenti sejenak, beristirahat dan kemudian kembali melanjutkan
perjalanannya.
Di rest area ini saya juga disuguhkan pemandangan alam yang luar biasa
indah. Tepat di depan saya, terdapat deretan bukit nan hijau yang sangat
menyejukkan mata. Penduduk disini menyebutnya Gunung Nona, saya biarkan saja
tanya akan asal-usul nama gunung ini melayang-layang dipikiran saya, ditemani
secangkir kopi hangat, saya hanya perlu duduk manis sembari menghirup sejuknya
udara pengunungan, membuat lelah pergi entah kemana seiring turunnya kabut dari
atas bukit. Sungguh saya sangat menikmati kenyamanan ini.
Desa Balaba', Makale,
Toraja
Menurut data dari Stephen Juan, seorang
antropolog dari University of Sydney, ragam bahasa yang ada dunia ini berjumlah
6.800 bahasa, dan Indonesia memiliki 726 bahasa daerah yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari masyarakatnya.
Bisa-bisanya dalam satu planet, satu negara, satu
pulau, bahkan satu provinsi, yang hanya terpisah ratusan atau puluhan kilometer
jauhnya, bahasa terkadang menjadi hambatan dalam berkomunikasi, dan inilah satu
dari sekian banyak alasan yang membuat saya selalu bersemangat ketika melakukan
perjalanan, bahasa dan aksen bicara begitu menarik perhatian dalam setiap
tempat yang baru saya singgahi!
Seorang teman sesama backpacker asal Belgia telah
singgah di beberapa negara hingga akhirnya waktu mempertemukan dia dengan saya
di Gunung Bromo, Jawa Timur. Udara yang sangat dingin hingga 4 derajat celcius,
membuat kami tak mempedulikan bahwa bahasa yang kami gunakan berbeda satu sama
lain. Dia menggunakan bahasa Inggris, sedangkan saya menggunakan bahasa
Inggris, Indonesia, dicampur dengan senyum, perpaduan yang pas hingga akhirnya
kami berteman akrab, mengajak dia ke Jogja dan menemani dia berkeliling kota
seharian penuh.
Situasi yang sama saya rasakan ketika tiba di desa kakek,
malam itu.
''Hahaa e.. hei.. ha ei.. ha.. hahaa e.. !!''
Kira-kira begitulah teriakkannya. Kemudian terdengar
teriakkan balasan dari orang yang entah siapa dan tidak tahu posisi pastinya
dimana. Ini adalah teriakkan khas orang Toraja yang tinggal di daerah pedesaan.
Teriakkan ini dikenal dengan nama Meoli.
Beberapa orang saling berteriak untuk menyambut
kerabat yang datang berkunjung. Suaranya begitu keras, dengan tekanan di awal
dan pekikkan panjang di akhirnya. Sungguh sambutan yang unik dan sangat
menghangatkan. *Don't try this at home
ya, kalau nggak mau orang perumahan bangun dan marah-marah!*
Beberapa saat kemudian beberapa saudara datang
menghampiri kami, saling berpelukkan dan mengucap rindu satu dengan yang lain.
Kemudian kami berjalan beberapa kilometer lagi menuju rumah Kakek. Disini masih
suasana pedesaan sekali, tidak ada penerangan jalan, jalanannya juga masih
tanah, dengan banyak pohon bambu.
Rumah kakek berbentuk rumah panggung. Hanya ada dua
kamar tidur, sisanya ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan dan
terhubung lansung dengan dapur, berlantaikan kayu dan berdinding ayaman rotan,
tak jarang angin akan berhembus masuk melalui celah-celahnya.
Bersama ayah, saya ikut duduk bersama saudara-saudara.
Ditemani ballo' atau tuak kami bercerita mengakrabakan diri dengan satu bahasa
yang sampai sekarang tidak saya kuasai. Bahasa Toraja! Ini aneh, saya tidak
mengerti bahasa yang mereka ucapkan, namun saya seakan mengiyakan apa yang
mereka katakan. Entah bagaimana prosesnya, tetapi ketika seorang dari kami
tertawa, saya juga ikut tertawa, seakan tahu apa yang mereka tertawakan!
Mungkinkah ini yang disebut bahasa dunia oleh Paulo
Coelho dalam The Alchemist? Untuk menguasai bahasa dunia hanya dibutuhkan satu
hal, keberanian untuk memahami.
26 Desenber 2011
Good morning, rise and shine! Selamat pagi, Tana Toraja!
Tadi malam saya tiba di tempat ini ketika matahari
sudah kembali ke peraduaanya. Jalan di desa tempat kakek tinggal tidak ada
penerangan sama sekali, selain cahaya lampu dari rumah penduduk, itu pun sudah
redup, mungkin karena terlalu setia dengan waktu. Alhasil mata di
dominasi oleh gelap.
Namun itulah malam, selalu menyembunyikan dan hanya
bisa ditemukan oleh mereka yang bangun lebih awal. Sungguh, pagi disini terasa
sangat istimewa! Sayup-sayup terdengar alunan musik bambu yang dibawakan oleh
angin, bau tanah hasil guyuran hujan semalam, belum lagi aroma kandang babi
yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah!
Kebetulan pagi ini, kami akan mengadakan acara Natal
Keluarga, acara sederhana yang kami selenggarakan di sebuah halaman yang
terletak dibawah rumah panggung. Setelah acara kebaktian selesai, kami
melanjutkan acara makan bersama, acara yang paling saya tunggu-tunggu nih!
Berbagai macam makanan dan minuman khas Toraja
tersaji, bagi saya yang paling spesial tentu Pa'piong dan Ballo'. Sudah lama
banget nggak merasakan makanan ini! *Sikat Jhon!*
Oia, ada yang unik dari makanan dan minuman ini,
keduanya menggunakan bambu sebagai tempat memasak dan menyajikan, alasannya
karena bambu disini besar-besar dan tinggi, sehingga memiliki diameter yang
besar pula.
Pa'piong itu makanan berupa daging babi. Cara
memasaknya menggunakan bambu. Daging yang sudah dipotong-potong di campur
dengan sayur sarre nako (begitu mereka menyebut sayur yang tidak saya ketahui
namanya dalam bahasa Indonesia), ditambah darah babi, dan dimasukkan ke dalam
bambu untuk kemudian dibakar hingga matang.
Sedangkan Ballo' adalah minuman dari fermentasi pohon
nira. Minuman ini serupa dengan tuak Medan, hanya saja rasanya tidak terlalu
kecut. Ballo' biasa disajikan didalam bambu, dan diminum ketika ada acara-acara
tertentu.
Dan acara keluarga hari ini kami meriahkan dengan
bermain baratung! Baratung adalah permainan unik anak-anak di pedesaan.
Permainan ini juga menggunakan bambu sebagai bahan utamanya. Beberapa ruas
bambu dipotong, diberi lubang kecil pada bagian ujungnya sebagi tempat menaruh
minyak tanah, kemudian dipanaskan dengan api terlebih dahulu.
Setelah bambu dipanaskan, arahkan api kecil ke dalam
lubang untuk memberi efek suara. Duaaarrr.. !! Perang pun dimulai.. !!
Senang bisa kembali merasakan situasi semacam ini.
Kembali dipertemukan dengan sanak family. Kembali diberi kesempatan untuk
berbincang, bercanda, bermain, dan saling mengekspresikan kegembiraan. Situasi
yang selalu memberi kenangan dan rindu.
Rabu, 28 November 2012
Semburan Kesejahteraan dari Semburan Minyak?
28 Juli 2011
Ini pokoknya serba mendadak. Bangun jam 12 siang, lihat hand phone dan ada sms dari teman yang
mengajak saya jalan-jalan ke Semarang. Tanpa pikir panjang, saya terima.. Sah!
Kebetulan malam itu sedang berlangsung pertandingan sepak
bola antara Indonesia melawan Turkmeniztan. Karena kami pencinta bola dan
suporter sejati tim nasional Indonesia, sesampainya di Semarang kami memutuskan
untuk menonton bolah terlebih dahulu, hehehe.
Suasana nonton bareng malam itu sangat ramai, terlebih
ketika gol demi gol diciptakan oleh pemain Indonesia. Namun kegembiraan itu
sempat tergantikan dengan ketegangan, tim tamu perlahan mulai menyusul. Bah,
macam mana pula ini! Dari skor 4-1 sekarang kedudukan udah 4-3. Kalau Indonesia
kalah, dengan jantan saya akan turun dari kursi ketua PSSI!!
Sepak bola, oh.. sepak bola. Sepertinya rakyat Indonesia
memang sudah jatuh hati dengan olahraga yang satu itu. Nggak peduli tim
nasional sering kalah dari pada sering menang, kesetiaan dalam mendukung tidak
perlu diragukan lagi. Untunglah dalam pertandingan malam itu Indonesia berhasil
menang.
Selesai menonton bola, kami menyempatkan untuk berkunjung
ke Lawang Sewu. Masyarkat menyebut Lawang Sewu karena jumlah pintu yang sangat
banyak. Pada kenyataannya pintu di gedung ini tidak mencapai seribu lho!
Bangunan ini dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1904 dan
selesai pada tahun 1907. Awalnya bangunan ini difungsikan sebagai NIS (Kantor
Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta milik Kolonial Belanda), namun bangunan ini
sempat menjadi penjara bawah tanah oleh serdadu Jepang. Ratusan orang di
penjara, di siksa, dan meninggal secara tragis.
Selain berkunjung ke Lawang Sewu, sesuatu yang wajib
dilakukan saat berada di Semarang adalah mencicipi kulinernya. Salah satunya
adalah angkringan pagi, angkringan khas kota Semarang yang buka mulai pukul 11
malam. Makanannya bermacama-macam dengan harga yang relatif murah. Ketika makan
dan ngobrol-ngobrol, tiba-tiba kembali muncul rencana jalan-jalan yang
implisit, dadakan, tanpa rencana sebelumnya! Kami akan melanjutkan perjalanan
malam ini ke kota minyak, Cepu. Yes! Berangkat..
29 Juli 2011
Blok Cepu merupakan salah satu ladang minyak tertua di
dunia. Sebagian besar sumur minyak disana telah dioperasikan sebelum Perang
Dunia II. Di cepu kami bertemu dengan seorang teman yang sangat baik, dia
adalah Bastian, biasa disapa mas Bas. Dari dialah kami berkesempatan untuk
melihat-lihat lokasi sumur tua di desa Ledok dan desa Wonocolo.
Cuaca di Cepu puanas sekalee.. Jogja kalah panas! Tapi
teriknya matahari saat itu nggak bisa ngalahin semangat dan atusias kami.
Bagaimana tidak antusias, sudah dua semester saya menjalani kuliah studi
Perminyakan dengan senang hati, gembira, dan rajin (pernyataan yang terakhir
boleh dihilangkan). Tapi saya pribadi kok merasa belum paham betul tentang ilmu
Perminyakan ya, maka dari itu saya berniat mengikuti Field Trip yang sering diadakan oleh salah satu organisasi di
kampus. Dari pagi udah nunggu, tapi tetap aja nggak pernah dapat tempat.
Sialnya kejadian ini menimpa saya berkali-kali! Karenanya ketika ada kesempatan
ke Cepu dan ada tawaran untuk melihat langsung sumur minyak, saya senang
banget, jadi selain jalan-jalan saya juga bisa menambah pengetahuan tentang
ilmu yang sedang saya tekuni sekarang. Yuhu..
Namanya Urok Rakeri, senang dipanggil Brian. Selera
humornya tinggi, kulit hitam manis, wajah eksotis, dan senyumnya meringis.
Brian adalah teman mas Bas saat duduk di bangku SMA. Karena tuntutan ekonomi,
dia tidak melanjutkan kuliah, dan lebih memilih bekerja di salah satu sumur
minyak di desa Ledok.
Ternyata di desa Ledok terdapat sumur minyak pertama yang
di bor pada tahun 1893 lho! Sebagian besar sumur minyak di desa Ledok itu
dikelola secara konvensional oleh masyarakat setempat. Sumur disana juga sudah
tua dan tidak terlalu mengutungkan. Produksi air lebih banyak daripada minyak!
Hehehe.
Sepengetahuan saya nih ya, kalau ke lapangan minyak itu
kan harus serba safety. Pakai celana dan pakaian lapangan, sepatu lapangan, google, helmet, nah ini.. dengan hanya
memakai kaos oblong, sandal, dan jauh dari kesan safety kami diperbolehkan
mendekat ke sumur minyak milik mas Usrok. Bahkan mas Usrok sendiri tak beralas
kaki dan.. merokok! Hahaha kacau!
Mengelola sumur minyak disana itu seakan bermain Judi.
Satu sumur tua dikelola oleh minimal 10 orang dengan biaya operasional yang
sangat besar. Padahal produksi minyak disana tidak menentu, koperasi desa milik
Pertamina pun hanya membeli minyak seharga 850 rupiah per satu liter!
Coba kita kalkulasi, misal satu sumur memproduksi 5000
liter. 850 rupiah x 5.000 liter = 4.250.000 rupiah.
Kemudian hasil penjualan tersebut akan dibagai ke 10
orang, jadi pendapatan per orangnya = ? Oia, belum lagi uang yang harus
dikeluarkan untuk biaya operasional. Dih! Horornya!
Setelah menyalakan flare, yang lebih pantas dibilang
obor, kami meninggalkan sumur milik mas Usrok menuju desa Wonocolo. Sama
seperti di desa Ledok. Di desa Wonocolo juga terdapat puluhan sumur tua yang
masih dikelola secara konvesional oleh penduduk setempat.
Tapi di desa Wonocolo itu lebih sangar! Jadi begini, di desa Wonocolo
itu terdapat penyulingan dan ternyata mereka tidak mau menjual semua hasilnya
ke koperasi. Solar-solar dijual secara diam-diam ke penampung ilegal atau
langsung ke sopir truk yang melintasi jalur Pantura, alasannya, karena mereka
membeli lebih mahal dibanding harga beli di koperasi. Tentu saja perbuatan itu
melanggar peraturan. Jika tertangkap, teguran hingga denda jutaan rupiah pun
memanti.
Lagi-lagi hanya bisa berharap. Semoga
pemerintah tidak menutup mata dan serius memperhatikan masalah ini. Bukankah
dulu sumur-sumur minyak ini begitu superior? Menghasilkan ratusan barel tiap
harinya. Menghasilkan devisa jutaan rupiah bagi Negara. Lantas ketika semuanya telah
di eksploitasi dan sekarang tidak mengntungkan lagi apakah semudah itu
ditinggalkan dan dilupakan ?!
Hanya sekedar angan ketika masyarakat Cepu berharap
mendapatkan 'semburan' kesejahteraan dari semburan minyak. Tidak ada
tanda-tanda kesejahteraan menyelimuti masyarakat Cepu. Pendapatan perkapita
kecil, sarana-prasarana umum memprihatinkan, dan pengangguran pun merajalela di
Kota Minyak ini.
Senin, 15 Oktober 2012
Magelang : Di malam hari menuju pagi
Hi, traveler! Saya kembali lagi dalam sebuah perjalanan yang kali ini random banget. Impulsif, tanpa rencana, serba mendadak, tanpa berpikir panjang dan sekedar dorongan untuk mengekspresikan keinginan.
Sepertinya saya itu memang di takdirkan sebagai pejalan sejati *Ngok! Bisa jadi, dikarenakan waktu kecil saya sering diajak jalan-jalan atau mungkin saya terlahir ketika orang tua saya sedang jalan-jalan! Hahaha, entahlah. Pada intinya saya suka banget jalan-jalan!
Sebelum jalan-jalan saya memang terbiasa untuk terlebih dahulu mencari beberapa informasi tentang suatu tempat yang akan saya kunjungi, mislanya mencari tahu cara menuju lokasi dan membaca rekomendasi dari mereka yang telah mengetahui. Tapi bukan berarti hal tersebut dijadikan patokan pasti, kondisi dan situasi mengharuskan seorang traveler untuk fleksibel. Traveler itu harus Liar dan Bebas, bung !!
13 Oktober 2012
Di malam hari itu saya bersama teman-teman hendak melihat Festival Ramayana di Pelataran Terbuka Candi Prambanan. Banyak info dari dunia maya kalau Fetival Ramayana gratis untuk umum. Mendengar kabar tersebut, mental gratisan kami langsung meletup-letup. Buat saya pribadi, ini adalah kesempatan yang nggak boleh dilewatkan. Selama ini, saya juga nggak pernah melihat pentas sendratari Ramayana !!
Karena terlanjur semangat, kami tiba di lokasi satu jam sebelum pertunjukan dimulai. Nah ini, saat menuju lokasi pertunjukan perasaan tiba-tiba jadi nggak enak. Berjalan beberapa langkah, dengan jelas saya melihat dua layar lebar terpasang di halaman luar pelantaran candi dan ticket box dalam keadaan terbuka! Ciat.. ciat.. ciat.. ternyata yang dimaksud gratis itu cuma sebatas nonton dari layar lebar! Kalau mau lihat secara langsung ya tetap harus bayar! Dan banyak juga pengunjung yang terkena zonk seperti kami, hahaha.
Harga tiket termurah untuk pentas sendratari Ramayana sebesar Rp 150.000 . Lumayan mahal sih, tapi saya yakin harga segitu sepadan dengan eloknya pertunjukkan. Tapi ya mau gimana lagi, saat itu kami nggk membawa banyak uang, semoga di lain waktu ada kesempatan untuk melihat.
Karena Senin masih lama.. Kami sepakat untuk pergi meninggalkan Candi Prambanan dan berangkat menuju Borobudur! Banting haluan, disana ada pembukaan kampanye energi terbarukan dan ada Payung Teduh! Musik Payung Teduh itu sungguh meneduhkan hati ya, pas banget buat mereka yang sedang putus cinta. *Sial. Curhat! Kemudian sayup-sayup terdengar alunan dan lirik lagu, Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan.
Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karena kau sedang cantik-cantiknya
Lalu mataku merasa malu
semakin dalam ia malu kali ini
Kadang juga ia takut
tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya
Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya
Berbahagialah bagi siapa saja yang kuliah di bidang studi Teknik Perminyakan UPN. Disanalah manusia-manusia dari berbagai kelamin dan daerah berkumpul. Di Magelang kami bertemu dengan Purbo dan Robi. *Robi?! Kemudian terbanyang komedian Tarzan.
Saya baru menyadari kalau teman saya yang bernama Robi itu sejenis Mafia region kecamatan Borobodur. Mau masuk ke Candi Borobudur gratis, seluruh satpam Candi Borobudur dan sekitarnya kenal sama dia, orang-orang dari berbagai profesi juga kenal dia. Semakin dekat dengan tempat tinggalnya prosentase makhluk hidup yang kenal dia mendakati 99%. Ini serius, coba saja!
Setelah melihat penampilan Payung Teduh di taman Lambini. Obrolan singkat dan tak pikir panjang, membuat kami sepakat menerima tawaran Robi untuk menginap semalam di Magelang supaya kesesokan harinya dapat melihat Sunrise di Punthuk Setembu dan keindahan alam di Desa Bandongan.
Payung Teduh |
14 Oktober 2012
Menuju pagi, di kawasan wisata alam Puthuk Setembu kita dapat melihat matahari yang muncul diantara Gunung Merapi dan Merbabu. Bersamaan dengan itu, kabut perlahan turun dan Candi Borobudur pun akan terlihat! Sedangkan di Badongan terdapat hamparan sawah luas di perbukitan, dimana kita disuguhkan pemandanga apik nan indah sistem terasering. Menulusuri jalan setapak menuju atas bukit, kita akan menemukan Candi Hindhu Selogriyo dilengkapi dengan sumber mata air. Sungguh, istimewa sekali!
Percayalah, orang lokal itu informan terbaik dibanding mesin pencari informasi sekalipun. Dari orang lokalah kita mengetahui tempat terbaik yang belum terekspos. Dari orang lokalah kita saling berbicang untuk memperkaya pengetahuan. Dari orang lokalah kita menjadi Pejalan anti mainstream! Hahaha.
Jumat, 21 September 2012
Karimun Jawa : Pesona Bahari di Utara Pulau Jawa
''Karena dulu pulau ini kremut-kremut alias terlihat samar-samar makanya pulau ini dinamakan Karimun.'' Sontak kami semua tertawa mendegar celotehannya.
Namanya Rizal, dia adalah
pemuda asli Pulau Karimun Jawa. Berkulit hitam, berbadan kecil namun berotot,
tipikal penduduk pesisir pantai. Seperti penduduk pulau Karimun Jawa pada
umumnya, mas Rizal adalah sosok yang sangat bersahabat dengan para wisatawan.
Masih teringat jelas dalam
benak saya, bagaimana mas Rizal ikut membantu kami mencari wisatawan yang tidak
terikat dengan travel agen. Bagi backpacker seperti kami, harga sewa kapal
untuk mengelilingi beberapa pulau kecil di sekitar Pulau Karimun Jawa memang
cukup mahal, cara satu-satunya kami harus mencari wisatawan lain untuk
bergabung dengan kami, sehingga harga sewa kapal dapat dibagi rata. Karena
bantuan mas Rizal akhirnya kami dapat melakukan wisata bahari di Perairan
Karimun Jawa, untuk kemudian berbagi cerita perjalanan ini...
Ambilah kenangan dengan fotomu dan jangan mengambil sesuatu di alam sebagai kenanganmu. - Taman Nasional Karimun Jawa
Kami memulai perjalanan dari Pelabuhan Kartini Jepara. Dengan menaiki kapal ferry KM Muria, kami akan menempuh perjalanan selama kurang lebih enam jam menuju Taman Nasional Karimun Jawa.
Ini kali pertama saya kembali naik kapal setelah 17 tahun lamanya,
terakhir saya naik kapal saat berumur 4 bulan. Jadi, bisa dibilang kalau saya
itu belum benar-benar merasakan bagaimana sih rasanya naik kapal.
Setelah memasuki kapal saya bergegas menuju bagian atas dek kapal.
Kenapa saya ingin sekali berada di dek kapal? Karena saya terinspirasi Film
Titanic, pasti sudah tahu kan adegan ketika Leonardo dan Kate Winslet bermesraan
di atas dek kapal? Nah, saya itu berharap bisa melakukan hal serupa, so sweetnya...
*Lirik teman perjalanan *Cowok semua!!
Saya pikir duduk di dek kapal itu nyaman. Sial, Ternyata duduk di
dek kapal itu semacam zonk! Panasnya... Sengatan matahari begitu terasa di
ubun-ubun, membuat kepala terasa pusing dan perut pun bergejolak, belum lagi
laju kapal yang sangat pelan.
Tahu nggak?! Sebenarnya jarak
dari pelabuhan Kartini ke Pelabuhan Taman Nasional Karimun Jawa itu hanya
sejauh 90 kilometer lho, dekatkan? Tapi kenapa kapal ini berjalan pelan sekali.
Bisa dibilang laju saya mengayuh sepeda roda tiga lebih cepat dibanding laju
kapal ini, pantas saja waktu tempuhnya lama sekali. Huufft
Beruntung saya bersama dengan
teman-teman yang sangat baik. Sepanjang perjalanan yang
menguras tenaga dan menguras isi dalam perut, mereka begitu perhatian dengan saya,
mengambilkan minum, memijat dan senantiasa mengingatkan saya agar tidak
menjatuhkan diri ke laut. *Kemudian terharu *Berpelukan.
14.30, Selamat Datang
Akhirnya kami sampai juga di Taman Nasional Karimun Jawa. Setelah turun dari kapal banyak
orang-orang yang mengerubuti kami, ditarik ke kanan, ke kiri, ke depan, ke
belakang.. di lempar ke atas, di banting.. dan kami pun bergegas lari meninggalkan
mereka. Kabur!!
Mereka itu adalah orang-orang
yang menyewakan penginapan dan menawarkan jasa transportasi menuju penginapan.
Yaelah.. Pulau Karimun Jawa itu seluas apa sih?! Pasti tidak lebih luas dari
halaman rumah saya. Dari pelabuhan kedatangan ke pelabuhan nelayan aja nggak
jauh-jauh amat, lebih baik jalan kaki lah. *Kemudian kaki pun keram.
Setelah berjalan beberapa meter dari pelabuhan Taman Nasional
Karimun Jawa, deretan rumah penduduk mulai terlihat. Penginapan disini
menggunakan sistem home stay, jadi warga menyediakan kamarnya untuk disewa per malam.
Jangan terburu-buru dalam memilih, sesuaikan dengan kantong dan fasilitas yang
didapat. Kami mendapat penginapan dengan tarif 15.000 rupiah per malam dengan
fasilitas tambahan yaitu diesel. Murahkan? Sekedar informasi, Karimun Jawa itu
menggunakan PLTD dan hanya menyala dari pukul 17.00
- 05.00 saja.
Suatu Malam di Karimun Jawa
Duar.. Duar.. Duer.. Suara petasan terdengar tepat di sebelah
kami. Wah ini nih, ngajak perang nih. Kami pun segera membeli petasan dan membalas
serangan anak-anak itu. ''Fire in the hole !'' Duaaaar..
Kata mereka alun-alun ini
selalu ramai, apalagi malam minggu seperti ini. Mulai dari anak-anak hingga
orang tua senang berkumpul di tempat ini. Berbagai macam kegiatan mereka
lakukan, bermain, berkumpul dengan keluarga, menjual aneka makanan dan minuman,
atau menonton film India di Balai Desa. Alun-alun ini memang menjadi tempat
terbaik untuk merayakan malam.
Pesona Bahari Karimun Jawa
Pagi hari ini kami akan berwisata bahari, menggelingi beberapa
pulau kecil di sekitar pulau Karimun Jawa dan snorkeling untuk melihat
keindahan bawah lautnya. Berangkat...
Wow, ternyata di Pulau
Menjangan Besar kita berkesempatan berenang dengan ikan hiu. Awalnya takut juga
berenang di dalam kolam penangkaran ini. Bayangin aja, di dalam kolam
penangkaran yang lumayan luas terdapat puluhan Blacktip Reef Shark. Tapi
setelah di yakinkan oleh pemiliknya, saya memberanikan diri untuk menyebur ke
dalam. Ternyata hiunya cuek-cuek saja ketika saya berenang, saya pun dengan
santainya berenang kesana kemari, yuhuu... hingga akhirnya, ''Mas, kakinya
berdarah ya?!'' ''Hah!! Serius?!'' Tolongggg mak!!! *Jeng jeng.
Ah sudahlah, saya tak perlu
menceritakan ke kalian bagaimana perjuangan saya melawan maut, pokoknya kalian
harus coba sendiri! Rasakan sensasinya.
Perairan di Karimun Jawa sungguh menawarkan keindahan alam bawah
laut yang luar biasa indah. Ikan, ubur-ubur dan terumbu karang seakan mengajak kita
untuk menari-nari bersamanya.
Pulau-pulau kecil di sekitarnya
pun terawat dengan baik, pasir putih dengan perairan yang dangkal menjadi
tempat terbaik untuk bermain air atau sekedar berleha-leha. Selain itu
keramahan penduduk di pulau Karimun Jawa sungguh memberikan kenyamanan bagi
siapa saja yang hendak berkunjung.
Dan malam terakhir di pulau Karimun Jawa kami tutup dengan membakar dan
menyatap ikan yang kami beli di Tempat Pelelangan Ikan. Ditemani obrolan dan
canda dari mas Rizal, kami mengungkapkan harapan agar dilain waktu dapat
kembali lagi ke Pulau ini.
Langganan:
Postingan (Atom)