"Selamat pagi."
"Selamat pagi, om."
"Selamat pagi."
"Selamat pagi, nu."
Begitu selalu tiap kali saya keluar kamar kemudian berpapasan dengan penduduk pesisir pantai disini atau saat saya masuk ke kafe maupun rumah makan, sapaan itu makin hari makin bersahabat ditelinga saya. Saya nggak nyangka, raut wajah mereka yang tegas, warna kulit yang gelap dan sorotan mata yang tajam ternyata beda banget sama pembawaan mereka. Ramah sekali kawan ! Mereka adalah orang paling mudah senyum dan punya rasa humor paling tinggi yang pernah saya temui. Nggak cuma itu aja, orang asing yang lagi duduk disebelahmu, mulai dari yang nyruput kopi sampai yang negak sofie dalam hitungan detik bisa jadi teman dan ngomong panjang lebar kayak udah kenal 1000 tahun lamanya #NP Tulus - 1000 Tahun Lamanya. Jadi, nggak ragu lagi buat bilang kalau saya jatuh cinta dengan Flores dikali pertama saya menginjakkan kaki !
Setelah lulus dari Universitas, beberapa hari kemudian saya angkat ransel dan merayakannya di Labuan Bajo. Baru mau terbang kesana aja saya udah excited, untuk pertama kalinya saya akan naik pesawat perintis dan saya janji nggak akan ketiduran seperti yang biasa terjadi kalau lagi naik pesawat, tau kan sebabnya ? Banyak tuh bersebaran di media sosial pemandangan sebelum mendarat itu amazing banget, deretan pulau-pulau kecil bakal say Hi ke kita. Sayangnya, "Iya sayang?" "Sayangnya woi, bukan manggil sayang !" Itu kenapa nggak ada yang kasih tau kalau pemandangan kayak gitu cuma bisa dinikmati hanya dari salah satu sisi pesawat aja !!! Argh !!! Semua penumpang disisi lain dari tempat saya duduk pada wa wow wa wow jeprat jepret, pada ngintipin lewat jendela, sampai miring pesawatnya, berat sebelah hahaha yaaakali..
Saya sedih. Lesu. Rasanya saya pingin terbang ulang. Saya nundukkin kepala dari awal keluar pesawat sampai pintu kedatangan, trus tiba-tiba (((jéng... jéng...))) saya nabrak orang bro, saya lihatin dari kaki, naik pelan-pelan trus stop, ritseletingnya ke bukak hahaha, lanjut lagi ke atas, badannya kekar, dadanya ngecap, trus naik lagi sampai ke muka, tepat dihadapan saya ada orang timur yang senyumnya aduhai, manis sekali senyum om satu ini. Namanya om Matius muka serius hati tulus. Dia nawarin jasa ojek dari bandara sampai ke pelabuhan, cuma 5000 aja.
Pelabuhan Labuan Bajo adalah pusat aktifitas penduduk disini. Hilir mudik kapal-kapal besar nurunin peti kontainer dan truk-truk. Pelabuhan ini juga dipakai untuk berlayar dan berlabuhnya kapal-kapal wisata. Terletak di jalan Soekarno Hatta, keriuhan pelabuhan semakin menjadi karena pusat turis juga terletak di sepanjang jalan ini. Puluhan travel agency, hostel, rumah makan, kafe, bar, diving center, atm center, kios, mudah sekali ditemui. Saya menginap di Corner Backpacker seharga 60 ribu per malam, terdiri dari satu ruangan cukup besar dengan 12 tempat tidur, satu air conditioner, loker, dan satu kamar mandi diluar. Wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo itu ya sebagian besar tujuannya hoping island atau diving, nginap di kapal selama minimal dua hari semalam, kalau punya hari lebih bakal lanjut ke tempat lainnya, seperti gunung Kalimutu atau desa adat Wae Rebo misalnya, itu sebabnya hostel disini pengunjungnya selalu gonta-ganti dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.
Seperti saya salah satunya. Nggak pakai istirahat, saya lanjut door to door, dari satu agency ke agency lainnya buat cari kapal yang hoping island besok pagi. Low season bikin harga per orang dipatok sangat mahal, ada yang sampai 1,1 juta. Normalnya kapal diisi 8-10 orang, harga satu kapal yang paling murah sekitar 4 juta, jadi biasanya kita cuma perlu bayar 400-600 ribu aja untuk living on board selama dua hari satu malam. Makanya jangan tergesa-gesa nyarinya, selain harga bandingin juga rutenya, meskipun pada akhirnya saya mentok juga diharga 700 ribu perorang barengan dengan 4 wisatawan lainnya. Oia, untuk masalah rute, travel agency udah punya rute tetapnya, tapi kita bisa nambahain tempat yang otomotais nambah hari dan harga juga, ini bisa dilakuin kalau kita datangnya kroyokan, waktu itu saya berharap banget ada kapal yang ke P. Padar dan Gili laba, sayangnya nggak ada satupun yang kesana, wisatawan lagi sepi-sepinya euy. Next time lah ya..
Living On Board
Kalau kaum Gipsy jadiin karavan sebagai rumahnya, di live on board leisure trip ini, kapal dijadiin rumah buat berlayar mengarungi lautan, asik nggak tuh ? Lihat depan : Laut, kiri : Pulau-pulau kecil nan hijau, belakang : Kapten kapal, kanan... Weits !!! Lumba-lumba kawan !!! Indah sekali, lompat-lompat kayak lagi pada main lompat tali, imutnya... Konon emang nggak sulit nemuin hewan mamalia itu disini, alam yang masih perawan, kekayaan bawah laut yang masih terjaga bikin segala jenis makhluk hidup pun betah, berkembang biak dengan baik. Buat para diver, salah satu alasan mengunjungi Labuan Bajo karena dengan mudahnya menemukan manta ray dan sea turtle. Buat yang nggak bisa diving, apalagi kalau bukan buat nglihat Komodo.Hewan purba yang masih hidup sampai sekarang !!! Ratusan Komodo masih hidup di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Untuk lihat komodo, bukan komedo apalagi komedi harus tracking dulu kedalam hutan, komodo itu berdarah dingin, hewan yang geraknya lambat tapi pasti, so kita harus waspada banget tiap kali ketemu dan mau ambil foto bareng.
Kalau tentang alam Indonesia, saya yakin kita punya paham yang sama, cantik banget, molas tu’ung ! Di Labuan Bajo, belum mendarat aja udah disuguhin pemandangan elok, pemandangan pelabuhan Labuan Bajo dengan puluhan kapal dari bukit cinta pun bikin rasa jadi merinding dibuatnya. Nah, yang kadang buat tambah sedap itu bumbu-bumbunya dan tiap orang bakal dapat jenis bumbu yang berbeda. Malam itu salah satu jenis bumbu tercicip oleh saya, bumbu ini getir sekali rasanya. Jadi, setelah seharian kami hoping island, kapal menurunkan jangkarnya di Pulau Kalong. Kapal lain juga pada ngumpul disini, ini malam yang udah lain dari biasanya ditambah ketika seorang bapak dan anaknya yang duduk di bangku menengah pertama merapatkan kanonya ke badan kapal kami. Mereka tidak sendiri, ada puluhan lain dari pulau Komodo yang berprofesi serupa, mereka menawarkan barang dagangan berupa souvenir, kopi, makanan ringan dan beer. Yang membuat beda adalah cerita yang dibawa oleh bapak dan anak ini. Beberapa hari yang lalu berita duka menyelimuti penduduk di pulau Komodo, dengan suara mulai melirih, sang anak menceritakan bahwa guru bahasa inggris satu-satunya di Pulau itu meninggal dunia saat sedang menjalani pendidikan di Australia, mata sang anak mulai berkaca-kaca saat dia menceritakan kenangan belajar bersama beliau.
Abdi Marantika, nama anak itu, berucap kalau beliau adalah guru yang luar biasa hebat dan baik, suasana kelas yang ceria tidak pernah hilang ketika beliau mengajar. "Kalau belajar lamanya dua jam, tapi 30 menit sebelum usai selalu diisi dengan menyanyi atau cerita dari bapak guru." Sudah satu minggu lamanya kelas bahasa inggris kosong, tidak ada yang menggantikan. "Anak saya dan teman-temanya semua menangis histeris, orang tua sedih, desa kami berduka." Sambung ayah Abdi.
Sedih rasanya kalau ingat percakapan malam itu, di balik kekayaan alam yang luar biasa terselip berbagai macam problematika khas bangsa ini.
Bayangkan saja, untuk mendapatkan bahan makan, penduduk pulauKomodo harus naik spead boat dengan membayar 100 ribu sekali jalan ke Labuan Bajo, belum lagi harga bahan pokok yang nggak sebanding dengan pendapatannya. Sekarang, masalah lain muncul, ketika anak-anak sekolah disini sedang berjuang didalam keterbatasan, ujian berat menerpa mereka, kelas bahasa inggris terhenti, mereka terpukul. Bersyukur karena masih ada asa yang nggak akan pernah padam. Ada niat dalam hati mereka untuk terus belajar, belajar dan belajar. "Saya mau buat bapak guru bangga di atas sana."
Moment-moment seperti itu nggak sih yang justru buat jalan-jalan kita jadi lebih berkesan. Perjalanan membuat saya dituntut untuk lebih peka sama keadaan sekitar, nggak cuma nikmatin alam atau objek wisata aja, diluar itu ada nilai-nilai hidup yang bakal kita dapet kalau lebih berani mendengar, melihat, merasa dan memahami lebih dalam. Saya nggak pernah habis-habisnya bersyukur sama Tuhan, bahkan sampai detik ini, saya selalu ngrasa Dia kasih lebih dari yang saya harapkan, terutama ya saat perjalanan di Flores. Sebelum saya tiba di Labuan Bajo, daerah ini nggak ada hari tanpa hujan, trip jadi terganggu, bahkan ada yang baru sehari berlayar udah harus stop, syukur saya nggak mengalami hal tersebut, tiga hari pertama hujan nggak turun setetespun, hoping island berjalan damai, fantastik, bombastis.
Baru di hari ke empat hujan turun deras banget, pas itu saya di air terjun Cunca Rami, Manggarai Timur. Untugnya, hujan turun sesaat setelah saya selesai main air, andaikan aja turunnya sebelum, jangankan cuma mau sekedar nyamperin ketepian kolamnya, radius beberapa meter dari air terjun udah pasti terendam air, debit air kolam bakal naik dengan cepat dan tiba-tiba, bahaya banget.
Hujan turun bukan berarti hari itu saya sial, justru karena hujan turun saya dapat kesempatan berharga ! Minum kopi bareng penduduk lokal ! Kenalin, Om Pius Dasa namanya, pengakum Hitler dan Gusdur ini perawakannya nggak kalah garang sama anak buahnya Hitler. Pakai baju bercorak army, topi koboi, dengan parang sebagai aksesorisnya, rawr ! Om Pius mengundang kami untuk berteduh dirumahnya, mengenalkan kami ke Ame dan Ine (Ayah dan Ibu dalam bahasa Manggarai), serta menyajikan secangkir kopi Manggarai sebagai teman berbincang, hangat, sungguh menghangatkan !