"Tutup
!" Tapi bau amis sudah terlanjur masuk kedalam mobil. Setelah memberikan
empat lembar seribu rupiah sebagai tiket masuk pelabuhan lama Muara Angke, kami
pun segera menutup jendela. Ini adalah pelabuhan bagi nelayan, dimana
pelelangan ikan dan pasar rakyat berada dalam satu kawasan, jalanan yang basah
karena daerah ini lebih rendah dari permukuaan laut, bau amis, sampah, dan mual
dibuatnya.
Setidaknya
ada dua tempat yang dapat digunakan sebagai penitipan kendaraan. Polsek dan
lapangan parkir dekat dengan SPBU, di lapangan dekat SPBU itulah kami menitipkan
kendaraan. Berbeda dengan perjalanan yang biasa saya dan teman-teman lakukan,
kali ini kami menggunakan jasa trip organiser. Liburan semester yang sangat
lama dan kerinduan untuk kembali berkumpul menjadi alasan kami lebih baik
membayangkan kesenangan yang kami dapat dari pada memikirkan itinerary dan
lain-lainnya. Berbeda, tapi nggak kalah seru. Karena sejatinya jalan-jalan
bersama mereka selalu asik.
Kami
akan menaiki kapal tongkang. Sebuah kapal yang lumayan besar, menampung banyak penunpang
di bagian bawah dan atasnya, dan akan berangkat hanya ketika kapal sudah terisi
penuh. Kurang lebih kapal ini akan berlayar selama dua jam, tidak cukup lama,
tapi cukup membuat perut bergejolak ketika kapal menghantam ombak, matahari
menyengat pas di ubun-ubun kepala, goyang kanan-kiri. Jadi lebih baik duduk di
dalam kapal atau di bagian luar yang tidak terkena sinar matahari langsung.
Lebih manusiawi rasanya.
Tiba-tiba
seseorang berteriak, "Ada lumba-lumba." Sontak kami keluar dari
kapal, berdiri di bagian luar kapal. Saya yang tadinya lemas, seakan mendapat
asupan energi, tepat di depan kami ada tiga ekor mamalia laut cerdas
melompat-lompat ke permukaan yang seakan menyambut kedatangan kami. Selang
beberapa detik kemudian, nampak dari kejauhan sebuah pulau yang menjadi tujuan
kami, akhirnya kami sampai !
Pulau
Tidung Besar, salah satu pulau berpenghuni yang masuk dalam gugusan Kepulauan
Seribu. Terletak di utara Jakarta. Sesuai namanya pulau ini memang cukup besar
dibanding pulau terdekatnya yang letaknya hanya dihubungkan oleh jembatan.
Mungkin ini salah satu alasana kenapa orang-orang menyebutnya Jembatan Cinta,
karena dua hal yang letaknya terpisah kini menjadi satu karena adanya jembatan
yang saling menghubungkan dan tak akan terpisahkan. Menjadi semakin menarik
perhatian karena adanya bumbu penyedap yang di berikan oleh masyarakat setempat
tentang jembatan ini. Tapi sebelumnya, saya akan menceritakan apa yang saya
rasakan saat pertama kali berkunjung ke Pulau ini.
Rasa
pertama yang kami rasakan saat tiba di Pulau Tidung adalah lapar !! Bayangin
aja, hampir tiga jam lamanya duduk di kapal. Belum lagi ketika melihat kapal
cepat yang berangkat dari Marina Ancol melabuhi kita, kesal kali rasanya.
Perbandingannya tiga jam dengan satu jam, belum lagi penumpang yang penuh
sesak, dan bau tak sedap ketika salah satu penumpang memuntahkan isi perutnya.
Hoek ! Karenanya setibanya di homestay kami langsung cuci muka, minum, dan
makan sebanyak-banyaknya. Beruntung kami mengunakan agent travel yang tepat,
dari segi pelayanan saya kasih nilai oke, sesuai nama paket yang ditawarkan.
Dengan mengeluarkan uang 310.000 per orang kami sudah dapat fasilitas yang
sangat baik. Mulai dari tiket kapal pulang pergi, penginapan, makan tiga kali,
BBQ, sepeda imut, snorkling dan banana boat. Kesimpulannya kami tidak kecewa
selama dua hari satu malam disana, apalagi mas arif pemandu kami sangat baik
dan ramah.
Selesai
makan dia mengajak kami snorkling di dekat Pulau Tidung Kecil. Hmm.. dalam hal
keindahan bawah laut Pulau Tidung Besar bukan tepat yang digolongkan baik.
Ombak cukup besar, visibilitas jelek, terumbu karang banyak yang mati, dan
ikannya banyak yang pura-pura mati. Karenanya, saya menjadi orang pertama yang
nyebur ke dalam laut, tapi orang pertama pula yang kembali ke kapal. Sehabis
snorkling kami bermain sport water. Ini aktifitas air yang paling kami
tunggu-tunggu, saking nagihnya kami sampai mencoba berbagai macam permainan air
disini, seru ! Dan pemandangan dari pantainya benar-benar memanjakan mata. Tapi
yang paling bisa mengobati rasa kecewa kami terhadap pemandangan di bawah laut
Tidung adalah teman-teman. Teman-teman seperjalanan saya membuat perjalanan
kali ini menjadi unforgettable moment. Sudung, Boim, Josua, Haikal, Yuki,
Andre, Dewi, Anti, Qori, Stella, canda-tawa mereka membuat suasana tak kalah
indah dengan senja saat itu !
Jadi
dengan berani saya simpulkan, jangan pernah datang ke Tidung sendirian, ajak
teman-teman terbaikmu ! Dan ciptakan suasana tak terlupakan dalam hidupmu.
Lakukan hal-hal gila bersama, makan ikan bakar di tepi pantai, nonton X-Factor
sambil caci maki si Fatin, tidur bareng-bareng, mandi ganti-gantian *yakali
tong mandi bareng-bareng, sepedaan bareng, bicarain orang bareng. Pokoknya
Tidung emang salah satu tempat asik kalau kalian datangnya ramai-ramai. Seramai
klakson motor disana - Iya, saya heran kenapa penduduk lokal disini hobi banget
klakson motor. Menurut saya mereka masih kurang paham kalau pulau mereka itu
adalah pulau wisata yang menjadi tujuan orang-orang terutama yang tinggal di
Jakarta untuk berlibur, jadi seharusnya jangan heran kalau jalanan yang hanya
seruas jalan kini jadi penuh sesak oleh pejalan kaki dan puluhan sepeda,
apalagi sepeda menjadi transportasi andalan para wisatawan mengelilingi pulau
ini, jadi ya ada baiknya tidak tidak menglakson sepeda secara berlebihan ya om,
ya..
Beda
dengan jalanan di pulau Tidung yang brisik tiap ada motor lewat, pesisir pantai
Tidung suasanya benar-benar syadu, apalagi jembatan cintanya, melankolis abis !
Pagi hari kami bersepeda menuju Jembatan Cinta. Sebuah Jembatan yang di bangun
sebagai simbol perjuangan para jomblo. Inilah tempat favorit di pulau Tidung,
puluhan orang melintasi jembatan cinta tiap menitnya, tapi hanya sebagian kecil
orang yang nekat melompat dari jembatan ini, merekalah orang-orang yang haus
akan cinta. Saya dan Josua salah duanya. Satu.. dua.. tiga.. lompat !!! Dan
percayalah semenjak lompat dari sana hidup saya serasa di kelilingi oleh yang
namanya Cinta. Indahnya ~