''Sudah jam tujuh !'' Suaranya begitu keras bagi seorang perempuan berumur sekitar 30 tahun. Seorang pembantu yang bekerja di sebuah rumah milik seorang nenek, kebetulan rumahnya tepat di depan kamar saya.
Itulah yang pembantu ini lakukan tiap hari, tiap pagi, bahkan tiap saat ketika berbicara dengan nenek (maaf) yang sudah tunarungu. Sebenarnya kata-kata yg diucapkan pembantu tak pernah lebih dari 30 detik panjangnya, tapi pengulangannya bisa dua menit lamanya.
Teriakkannya diulang tanpa ada penurunan intonasi. Entah sampai kapan pembantu malang ini melakukan hal demikian, ketika Tuhan masih meberi umur panjang untuk nenek, mungkin saja sampai pita suara pembantu ini tak lagi berfungsi. Bisu, mungkin..
Saya mencoba merefleksikannya ke kehidupan saya sehari-hari, ya.. Kehidupan saya selama dua puluh satu tahun ini. Tak di pungkuri saya pernah melakukan hal semacam itu, teriakkan sebagai simbol kemarahan, entah itu kepada orang tua, adek, teman, bahkan pacar.
Sebagai orang yang terlahir dari keturunan Sulawesi Selatan, intonasi tinggi bukan hal yang aneh dalam gaya bicara kami, tapi apakah itu hal yang wajar ketika saya berada di tanah Jawa? Tidak, tidak wajar sama sekali. Papa saya selalu mengingatkan saya akan sebuah pepatah lama ''Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung.'' Ketika saya marah dengan orang tua, teriakkan sering keluar dari mulut saya. Lega? Tidak. Orang tua saya selalu diam ketika saya marah, sehingga yang ada hanya rasa bersalah dan penyesalan.
Saya jadi teringat sebuah moment ketika masih bersekolah di De Britto. ketika itu, guru saya mengajak siswanya ke sebuah lapangan sepak bola, awalnya kami disuruh saling berpasangan, dengan jarak sekitar 30 cm kami disuruh saling berbicara.
Semakin lama kami disuruh menjauh satu sama lain, semakin jauh dengan tetap berbicara, kemudian kami disuruh untuk saling berteriak agar suara kami terdengar oleh teman bicara. Apakah kami saling mendengar pada jarak 800 meter ? Tentu tidak !
''Berbicara dengan intonasi tinggi tidak menjamin semuanya akan menjadi jelas dan membuat jarak semakin dekat. Ketika kalian sedang ada masalah, apakah berbicara keras akan menjadikan semuanya kembali seperti biasa? Duduk dan berbicaralah tanpa intonasi tinggi, santun dan jelas. Saling memahami dan mengerti satu dengan yang lain.'' Pak Catur.
Kata-kata adalah sumber kekuatan. - Andrea Hirata
Sabtu Pagi, 15 Juni 2013