28 Juli 2011
Ini pokoknya serba mendadak. Bangun jam 12 siang, lihat hand phone dan ada sms dari teman yang
mengajak saya jalan-jalan ke Semarang. Tanpa pikir panjang, saya terima.. Sah!
Kebetulan malam itu sedang berlangsung pertandingan sepak
bola antara Indonesia melawan Turkmeniztan. Karena kami pencinta bola dan
suporter sejati tim nasional Indonesia, sesampainya di Semarang kami memutuskan
untuk menonton bolah terlebih dahulu, hehehe.
Suasana nonton bareng malam itu sangat ramai, terlebih
ketika gol demi gol diciptakan oleh pemain Indonesia. Namun kegembiraan itu
sempat tergantikan dengan ketegangan, tim tamu perlahan mulai menyusul. Bah,
macam mana pula ini! Dari skor 4-1 sekarang kedudukan udah 4-3. Kalau Indonesia
kalah, dengan jantan saya akan turun dari kursi ketua PSSI!!
Sepak bola, oh.. sepak bola. Sepertinya rakyat Indonesia
memang sudah jatuh hati dengan olahraga yang satu itu. Nggak peduli tim
nasional sering kalah dari pada sering menang, kesetiaan dalam mendukung tidak
perlu diragukan lagi. Untunglah dalam pertandingan malam itu Indonesia berhasil
menang.
Selesai menonton bola, kami menyempatkan untuk berkunjung
ke Lawang Sewu. Masyarkat menyebut Lawang Sewu karena jumlah pintu yang sangat
banyak. Pada kenyataannya pintu di gedung ini tidak mencapai seribu lho!
Bangunan ini dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1904 dan
selesai pada tahun 1907. Awalnya bangunan ini difungsikan sebagai NIS (Kantor
Pusat Perusahaan Kereta Api Swasta milik Kolonial Belanda), namun bangunan ini
sempat menjadi penjara bawah tanah oleh serdadu Jepang. Ratusan orang di
penjara, di siksa, dan meninggal secara tragis.
Selain berkunjung ke Lawang Sewu, sesuatu yang wajib
dilakukan saat berada di Semarang adalah mencicipi kulinernya. Salah satunya
adalah angkringan pagi, angkringan khas kota Semarang yang buka mulai pukul 11
malam. Makanannya bermacama-macam dengan harga yang relatif murah. Ketika makan
dan ngobrol-ngobrol, tiba-tiba kembali muncul rencana jalan-jalan yang
implisit, dadakan, tanpa rencana sebelumnya! Kami akan melanjutkan perjalanan
malam ini ke kota minyak, Cepu. Yes! Berangkat..
29 Juli 2011
Blok Cepu merupakan salah satu ladang minyak tertua di
dunia. Sebagian besar sumur minyak disana telah dioperasikan sebelum Perang
Dunia II. Di cepu kami bertemu dengan seorang teman yang sangat baik, dia
adalah Bastian, biasa disapa mas Bas. Dari dialah kami berkesempatan untuk
melihat-lihat lokasi sumur tua di desa Ledok dan desa Wonocolo.
Cuaca di Cepu puanas sekalee.. Jogja kalah panas! Tapi
teriknya matahari saat itu nggak bisa ngalahin semangat dan atusias kami.
Bagaimana tidak antusias, sudah dua semester saya menjalani kuliah studi
Perminyakan dengan senang hati, gembira, dan rajin (pernyataan yang terakhir
boleh dihilangkan). Tapi saya pribadi kok merasa belum paham betul tentang ilmu
Perminyakan ya, maka dari itu saya berniat mengikuti Field Trip yang sering diadakan oleh salah satu organisasi di
kampus. Dari pagi udah nunggu, tapi tetap aja nggak pernah dapat tempat.
Sialnya kejadian ini menimpa saya berkali-kali! Karenanya ketika ada kesempatan
ke Cepu dan ada tawaran untuk melihat langsung sumur minyak, saya senang
banget, jadi selain jalan-jalan saya juga bisa menambah pengetahuan tentang
ilmu yang sedang saya tekuni sekarang. Yuhu..
Namanya Urok Rakeri, senang dipanggil Brian. Selera
humornya tinggi, kulit hitam manis, wajah eksotis, dan senyumnya meringis.
Brian adalah teman mas Bas saat duduk di bangku SMA. Karena tuntutan ekonomi,
dia tidak melanjutkan kuliah, dan lebih memilih bekerja di salah satu sumur
minyak di desa Ledok.
Ternyata di desa Ledok terdapat sumur minyak pertama yang
di bor pada tahun 1893 lho! Sebagian besar sumur minyak di desa Ledok itu
dikelola secara konvensional oleh masyarakat setempat. Sumur disana juga sudah
tua dan tidak terlalu mengutungkan. Produksi air lebih banyak daripada minyak!
Hehehe.
Sepengetahuan saya nih ya, kalau ke lapangan minyak itu
kan harus serba safety. Pakai celana dan pakaian lapangan, sepatu lapangan, google, helmet, nah ini.. dengan hanya
memakai kaos oblong, sandal, dan jauh dari kesan safety kami diperbolehkan
mendekat ke sumur minyak milik mas Usrok. Bahkan mas Usrok sendiri tak beralas
kaki dan.. merokok! Hahaha kacau!
Mengelola sumur minyak disana itu seakan bermain Judi.
Satu sumur tua dikelola oleh minimal 10 orang dengan biaya operasional yang
sangat besar. Padahal produksi minyak disana tidak menentu, koperasi desa milik
Pertamina pun hanya membeli minyak seharga 850 rupiah per satu liter!
Coba kita kalkulasi, misal satu sumur memproduksi 5000
liter. 850 rupiah x 5.000 liter = 4.250.000 rupiah.
Kemudian hasil penjualan tersebut akan dibagai ke 10
orang, jadi pendapatan per orangnya = ? Oia, belum lagi uang yang harus
dikeluarkan untuk biaya operasional. Dih! Horornya!
Setelah menyalakan flare, yang lebih pantas dibilang
obor, kami meninggalkan sumur milik mas Usrok menuju desa Wonocolo. Sama
seperti di desa Ledok. Di desa Wonocolo juga terdapat puluhan sumur tua yang
masih dikelola secara konvesional oleh penduduk setempat.
Tapi di desa Wonocolo itu lebih sangar! Jadi begini, di desa Wonocolo
itu terdapat penyulingan dan ternyata mereka tidak mau menjual semua hasilnya
ke koperasi. Solar-solar dijual secara diam-diam ke penampung ilegal atau
langsung ke sopir truk yang melintasi jalur Pantura, alasannya, karena mereka
membeli lebih mahal dibanding harga beli di koperasi. Tentu saja perbuatan itu
melanggar peraturan. Jika tertangkap, teguran hingga denda jutaan rupiah pun
memanti.
Lagi-lagi hanya bisa berharap. Semoga
pemerintah tidak menutup mata dan serius memperhatikan masalah ini. Bukankah
dulu sumur-sumur minyak ini begitu superior? Menghasilkan ratusan barel tiap
harinya. Menghasilkan devisa jutaan rupiah bagi Negara. Lantas ketika semuanya telah
di eksploitasi dan sekarang tidak mengntungkan lagi apakah semudah itu
ditinggalkan dan dilupakan ?!
Hanya sekedar angan ketika masyarakat Cepu berharap
mendapatkan 'semburan' kesejahteraan dari semburan minyak. Tidak ada
tanda-tanda kesejahteraan menyelimuti masyarakat Cepu. Pendapatan perkapita
kecil, sarana-prasarana umum memprihatinkan, dan pengangguran pun merajalela di
Kota Minyak ini.