''Kami tidak belajar. Kalau pintar nanti hanya untuk membodohi orang lain.'' Kata Bapak Pulung kepada kami.
Kolot? Enggak juga. Ya, begitulah cara mereka menyikapi kehidupan. Bagi mereka hanya ada dua cara untuk memperkaya ilmu, menerima dan membagikan kepada sesama. Tidak akan ada yang lebih pintar, dan tidak akan ada yang bodoh.
Seperti sore itu, bapak Pulung mengajak kami ke alun-alun desa untuk ikut bercengkrama dengan beberapa masyarakat suku Badui Dalam. Heran, jika memang mereka tidak sekolah lantas bagaimana bisa mereka berbahasa Indonesia ya?
Hal itu karena suku Badui Dalam sangat terbuka dengan pendatang, kecuali pendatang berkebangsaan asing dan keturunan China, entah apa alasan mereka melakukan larangan tersebut. Dari pendatanglah mereka belajar tentang pengetahuan umum hingga bahasa Indonesia, setelah mereka mendapat ilmu baru, mereka akan membagikan atau mengajarkannya kepada sesama suku Badui Dalam. Tak heran jika masyarakat di desa Cibeo sebagian besar dapat berbahasa Indonesia, meskipun dengan kosa kata yang terbatas.
Karena hari sudah mulai gelap, saya meminta ijin kepada bapak Pulung untuk berjalan-jalan sembari melihat-lihat desa Cibeo. Pak Pulung mengijinkan kami, namun dengan syarat: Kami jangan keluar sendirian dari desa ini, dan kami tidak boleh menginjakkan kaki di perkarangan Kepala suku Badui Dalam.
''Bambu itu batasnya, tidak boleh melewati batas itu, dan yang disana itu adalah rumah Pu'Un.'' Kata bapak Pulung sambil menunjuk rumah Kepala suku yang ternyata tidak ada bedanya dengan rumah masyarakat suku Badui Dalam pada umumnya.
Badui yaa Badui. Itulah salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat suku Badui Dalam. Tidak ada perbedaan antara masyarkat biasa dengan Kepala suku atau Pu'Un. Rumah mereka sama, terbuat dari bahan yang sama dan tanpa paku. Pu'Un pun tidak boleh mengenyam pendidikan. Pakaian meraka sama, hanya hitam dan putih, tanpa motif. Sama-sama ke ladang ketika subuh dan kembali ketika sore menjelang.
Tidak peduli itu laki-laki, perempuan, bahkan anak-anak sekalipun, berladang adalah kegiatan yang selalu mereka lakukan setiap harinya. Dengan parang terikat dipinggang (pada laki-laki), mereka pun berjalan tanpa alas kaki berkilo-kilometer jauhnya, maka jika kita cermati dengan seksama telapak kaki suku Badui Dalam terlihat sedikit lebih lebar dibanding dengan telapak kaki pada umumnya.
Kebetulan saat kami berjalan-jalan mengelilingi desa Cibeo, masyarakat suku Badui Dalam sudah kembali dari ladang sehingga suasana desa sedang ramai-ramainya. Ada yang beristirahat di depan rumah, menanak nasi, mengambil air, dan aneka kegiatan lainnya.
Hap! Desa Cibeo ini seperti desa anak-anak! Buanyak sekali anak-anak disini, perkiraan saya ada tujuh anak kecil di tiap rumah. Ternyata anak-anak kecil suku Badui Dalam itu gendut-gendut! Hehehe! Yang laki-laki rata-rata berbadan tinggi, kulit putih bersih dan terlihat gagah, sedangkan yang perempuan cantik-cantik dengan rambut hitam panjang terurai. Oke, mungkin nenek moyang mereka adalah . . . Dea Imut! *Kemudian Bingung. *Plak!
Karena di Badui Dalam tidak boleh mengambil gambar, semoga saja foto berikut ini dapat membantu mengimajinasikan rupa anak-anak suku Badui Dalam. Ya, kurang lebih perawakannya seperti ini kok.
Karena di Badui Dalam tidak boleh mengambil gambar, semoga saja foto berikut ini dapat membantu mengimajinasikan rupa anak-anak suku Badui Dalam. Ya, kurang lebih perawakannya seperti ini kok.
Aih, saya jadi teringat nih dengan seorang permpuan asli suku Badui Dalam yang saya lihat sore itu. Perkiraan saya. Umur: 18 Tahun. Tinggi Badan: 165 cm. Berat Badan: 50 Kg. Agama: Sunda Wiwitan. Golongan Darah: AB. Status: Belum Kawin. Kewarganegaraan: WNI. Berlaku Hingga: 11-04-2015.
Saat berpapasan dengannya tidak sengaja mata saya melihat ke arah kedua matanya, dan kedua mata dia sama sekali tidak melihat mata saya, dia menunduk dan ngacir entah kemana! Tidak bermaksud berlebihan, perempuan itu benar-benar elok nan mempesona, saya semakin yakin kalau Dea Imut adalah Nenek Moyang mereka! Sayak yakin itu! Oke, mungkin saat ini saya hanya bisa melihatnya sesaat, tetapi besok pagi sebelum saya pulang, saya pasti akan bertemu dia kembali!
05.30 WIB
(Waktu Indonesia Bagian Badui) ;
(Waktu Indonesia Bagian Badui) ;
Seperti biasa, saya selalu lebih mudah bangun pagi dari pada harus bergadang hingga larut malam. Dan pagi ini saya berencana untuk . . . Kembali berkeliling kampung, menikmati kearifan lokal, melihat aktifitas mereka, ikut ke ladang. Yap! Salah! Saya kebelet boker saudara-sudara! Perut melilit dan saya pun bergegas ke sungai, ciat . . ciat . . ciat . . ternyata sabun dan sejenisnya tidak boleh digunakan di Pedalaman Suku Badui!!! Oh tidaaakkk!
Masa bodolah, toh di rumah, saya juga nggak pernah cebok pakai sabun. Eh!
Saya pun berjalan ke sungai, mencari tempat yang lumayan jauh, straregis, aman, dan kondusif. Oke, saatnya buang air besar nih. Pup! Namun tiba-tiba, saat sedang asik-asiknya, saya melihat puluhan masyarakat Badui Dalam berjalan melintasi jembatan. Oh Yeah!!! Gawat!!! Saya belum siap menerima kenyataan ini!!! Saya Panik! Panik se panik-paniknya orang panik! *Kemudian guling-guling di sungai.
H u u u f t. Sungguh pengalaman yang mendebarkan dalam sejarah kebuangan air besar saya. Setelah membersihkan itu dengan selembar daun yang saya fungsikan menyerupai tisu, saya pun berjalan kembali ke rumah Bapak Pulung. Nah, ini nih! Saat dalam perjalanan ke rumah bapak Pulung, saya bertemu dengan wanita itu lagi, iya wanita yang saya lihat kemarin sore itu! Rrrrr! Ya Tuhan, mimpi apa saya semalam?! Dengan mata kepala saya sendiri, dengan jelas saya melihat susunya, eh! Maksud saya melihat dia menyusui soerang anak kecil!
Itulah suku Badui Dalam, disini umur 17 tahun sudah banyak yang menikah, mereka dijodohkan oleh kedua orang tua mereka dan tidak boleh ada yang menolak penjodohan tersebut! Ternyata suku Badui Dalam menikah dengan sudara sendiri lho, saudara sepupu lebih tepatnya, sebangsa, seperjuangan, senasib sepenaggungan, dan saudara setanah air Indonesia Raya . . . Mengheningkan cipta mulai! *Kemudian Hening.
Di belakangku ada kekuatan tak terbatas. Di depanku ada kemungkinan tak berakhir. Di sekelilingku ada kesempatan tak terhitung. Mengapa aku harus takut ? - Stella Stuart
Klik : Lalampah Ka Badui