Kalau saat di jalan kebelet pipis tapi bawa mobil sendiri sih nggak masalah, nah ini, udah naik bus, berhenti cuma sekali, di tambah dengan A C yang dingin banget dan nggak bisa kecilin, apalagi dimatiin! Sial!
Mulai dari Vietnam, Cambodia, Thailand, Malaysia, dan dilanjutkan ke Singapore menggunakan jasa transportasi bus yang berangkat pada malam hari adalah pilihan kami untuk mengunjugi negara satu ke negara lainnya. Ada saja keuntungan melakukan perjalanan menggunakan bus saat malam hari. Kami bisa menghemat biaya menginap di hotel, karena tergantikan dengan bermalam alakadarnya di dalam bus. Selain itu dengan berangkat atau meninggalkan suatu tempat pada malam hari, maka saya mempunyai banyak waktu untuk mengeksplore suatu tempat tersebut mulai dari pagi hari terlebih dulu. Sebagai seorang backpacker yang tidak mempunyai banyak waktu libur, tentu waktu sedetik-pun sangat berharga bagi saya. Sebisa mungkin menjadikan waktu yang terbatas menjadi efisien dan efektif.
Dan ini adalah kali pertama saya naik bus lintas negara, nggak kebayanglah sebelumnya bisa duduk berjam-jam dalam sebuah bus untuk keluar dari negara satu dan masuk ke negara lain. Biasanya bus double deker atau bus tingkat yang biasa digunakan. Perawakan busnya gede, dalamnya beda lho sama bus pada umumnya, mau tau bedanyakan? Jadi, di dalam bus double deker itu ada puluhan deretan kursi penumpang, dan ada juga kursi untuk sopir. Lha lho?! Itu bedanya???!!! Ngok!
Baik saat di pesawat maupun sebelum naik bus atau sebelum memasuki kantor imigrasi suatu negara, kita di wajibkan untuk mengisi kartu imigrasi. Isi kolom-kolom pada kartu imigrasi tersebut dengan huruf kapital ya! Kalau misal salah nulis ya jangan panik, nggak perlu minta kertas baru, cukup coret huruf yang salah dengan dua kali coretan, ingat dua kali, tidak lebih apalagi hingga dihitamkan. Kalau belum punya tempat tinggal, karena masih mencari, maka di isi asal saja, misal Khaosan Road jika di Thailand, atau Bu Vien jika di Vietnam.
Intinya nggak ribet kok mengurus ijin di kantor imigrasi, apalagi pemegang paspor Indonesia, karena kita dapat dengan mudahnya masuk ke negara-negara di Asia Tenggara tanpa menggunakan visa, tentu dengan batas waktu tinggal sesuai ketentuan negara yang bersangkutan. Jika petugas imigrasi mengajukan beberapa pertanyaan, seperti tinggal berapa lama, tujuan datang, alamat menginap, dan lain-lain. Jawab saja dengan tenang, santai, sopan dan meyakinkan, beres deh!
Sekarang adalah hari kedua belas dalam rangkain perjalanan saya mengelilingi lima negara di Asia Tenggara. Tidak ada halangan dan hambatan berarti selama perjalanan ini, syukurlah! Namun suatu saat sempat terlintas pikiran nakal dalam benak saya. Kok perjalanan saya lancar-lancar saja ya? Nggak ada halangan apa gitu? Duh! Secuil pikiran nakal yang amit-amit kalau sampai terjadi. Dan tarrraaa . . . pikiran nakal itu menjadi kenyataan! Dyar!
Begini ceritanya,
Namanya Antimo, obat anti mabok, 100% Indonesia, 100% Cinta Indonesia. Obat seukuran upil Brotosaurus ini (Kayak udah pernah lihat upilnya aja!) adalah teman setia perjalanan saya, sekali minum, glek! Kemudian terlelap.
Menurut saya obat ini lebih tepat dibilang obat tidur sih dari pada obat anti mabok. Gara-gara Antimo juga saya sampai melewatkan rest area, dan ternyata bus ini cuma berhenti sekali selama perjalanan dari Penang ke Singapore, padahal saat itu saya sedang kebelet pipis banget nget! Jongkok udah, nungging udah, khayang juga udah, tetep aja masih kebelet! Botol! Botol mana botol . . . ! ! !
Kami tiba di Woodlands Checkpoints Singapore. Awalnya semua nampak baik-baik saja. Mengisi kartu imigrasi sudah, paspor ada, mengantri dengan baik dan benar juga iya, ya elah apa-apaan ini, setetelah paspor milik Fadly diperiksa, petugas imigrasi justru membawa kami bertiga ke suatu ruangan di lantai dua. Entah apa sebabnya, di kantor dengan tulisan I.C.A (Immigration & Checkpoints Authority) yang terpajang di ruangan ini, saya melihat ada begitu banyak orang yang sepertinya bermasalah. Ada seorang laki-laki berpakaian lusuh yang lebih mirip seperti pengemis. Seorang bapak yang sedang duduk merenung. Kemudian ada dua orang kakak beradik asal Malaysia yang ingin masuk ke Singapore tapi tidak mempunyai paspor, duh! imut sekali mereka!
Kira-kira dua jam kami menunggu di dalam kantor itu, kemudian satu per satu dari kami di suruh masuk kedalam sebuah ruangan, paspor di cek, dan beberapa menit kemudian disuruh keluar lagi. Oke, sampai sekarang saya belum tahu apa alasannya. Saya bertanya, tapi mereka cuma diam saja. Masalah nggak cuma sampai disini, kami turun menuju parkiran bus, mencari bus yang tadi membawa kami dari Penang menuju Singapore, dan ternyata bus yang kami tumpangi sudah pergi, menghilang entah kemana.
Kami pun mencari akal untuk pergi ke Golden Mines, Singapore. Setelah bertanya sana-sini akhirnya kami mendapat pencerahan, kami diantar oleh seorang petugas imigrasi menuju armada bus lain namun satu perusahaan, kami diminta menunjukkan karcis bus yang kami beli saat di Penang, untunglah karcisnya tidak kami buang sehingga kami tidak harus membayar lagi. Lega rasanya.
Kami tiba di Woodlands Checkpoints Singapore. Awalnya semua nampak baik-baik saja. Mengisi kartu imigrasi sudah, paspor ada, mengantri dengan baik dan benar juga iya, ya elah apa-apaan ini, setetelah paspor milik Fadly diperiksa, petugas imigrasi justru membawa kami bertiga ke suatu ruangan di lantai dua. Entah apa sebabnya, di kantor dengan tulisan I.C.A (Immigration & Checkpoints Authority) yang terpajang di ruangan ini, saya melihat ada begitu banyak orang yang sepertinya bermasalah. Ada seorang laki-laki berpakaian lusuh yang lebih mirip seperti pengemis. Seorang bapak yang sedang duduk merenung. Kemudian ada dua orang kakak beradik asal Malaysia yang ingin masuk ke Singapore tapi tidak mempunyai paspor, duh! imut sekali mereka!
Kira-kira dua jam kami menunggu di dalam kantor itu, kemudian satu per satu dari kami di suruh masuk kedalam sebuah ruangan, paspor di cek, dan beberapa menit kemudian disuruh keluar lagi. Oke, sampai sekarang saya belum tahu apa alasannya. Saya bertanya, tapi mereka cuma diam saja. Masalah nggak cuma sampai disini, kami turun menuju parkiran bus, mencari bus yang tadi membawa kami dari Penang menuju Singapore, dan ternyata bus yang kami tumpangi sudah pergi, menghilang entah kemana.
Kami pun mencari akal untuk pergi ke Golden Mines, Singapore. Setelah bertanya sana-sini akhirnya kami mendapat pencerahan, kami diantar oleh seorang petugas imigrasi menuju armada bus lain namun satu perusahaan, kami diminta menunjukkan karcis bus yang kami beli saat di Penang, untunglah karcisnya tidak kami buang sehingga kami tidak harus membayar lagi. Lega rasanya.
Life is a Journey, not a Destination